Jakarta-Transtv45.com- Indonesia dengan segera jadi buah bibir dalam sidang umum ke-45 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhir minggu lalu. Ini terjadi setelah Vanuatu mengkritik model penanganan kasus Indonesia atas Papua yang sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Perwakilan Vanuatu, Antonella Picone berujar, warga asli Papua memiliki hak untuk hidup dengan aman tanpa diskriminasi. Namun, hak hidup aman dan tentram di Bumi sendiri harus diusik dengan gelombang kekerasan yang tak kunjung usai. Yang terbaru adalah pembunuhan atas pendeta di Kabupaten Intan Jaya yang konon dilakukan aparat militer kita.
Atas pertimbangan itulah, Picone mendesak Komite Hak Asasi Manusia di bawah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) untuk meminta pemerintah Indonesia memberikan data terkait hak sipil dan politik yang berhubungan dengan isu HAM di Papua.
Namun, alih-alih berterima kasih atas kritik negara Pasifik ini, diplomat muda Indonesia justru menjawab dengan nada emosi.
“Anda bukanlah representasi dari orang Papua, dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya,” ungkap Silvany Austin Pasaribu, diplomat yang mewakili Indonesia di Sidang Umum PBB. Dalam rekaman video resmi PBB, Silvany menuding Vanuatu punya obsesi berlebihan dan tidak sehat tentang bagaimana Indonesia harus bertindak atau memerintah negaranya sendiri.
Ini agak ironis, sambungnya, mengingat Vanuatu bahkan belum meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi rasial dan meneken perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB). Namun, ia sudah berani-berani “menceramahi” Indonesia soal isu HAM di Papua.
“Kami menyerukan kepada pemerintah Vanuatu untuk memenuhi tanggung jawab hak asasi manusia Anda kepada rakyat Anda dan dunia. Jadi sebelum Anda melakukannya, tolong simpan khotbah Anda untuk diri Anda sendiri,” tutur diplomat yang sekarang bertugas sebagai Sekretaris Kedua Fungsi Ekonomi pada PTRI New York itu.
Respons yang terlontar dari Silvany ini mengundang pro dan kontra. Mereka yang pro, umumnya mengacungi jempol atas ketegasan Indonesia saat digonggongi oleh negara yang tak punya kepentingan di Indonesia, pun tak memahami sejarah Tanah Air. Sementara, mereka yang kontra menyebut, respons Indonesia justru menunjukkan negara kita belum cukup dewasa saat dihadapkan pada kritik.
Aktivis Papua Veronica Koman dalam akun Twitter pribadinya menyebut, “Diplomasi model gini memalukan banget, maramara kek anak kecil. Negara-negara lain biasanya pake metode janji memperbaiki, bukan serang balik si penyampai pesan seperti ini.”
Dalam kicauannya kemarin, ia juga menambahkan, Indonesia mestinya tak perlu defensif. Pasalnya, yang dikritik oleh Vanuatu adalah kesediaan agar Indonesia bersedia membuka akses untuk Dewan HAM PBB ke Papua, sesuai dengan janji yang pernah diucapkan Jokowi sejak Februari 2018.
Senada, pengajar Hubungan Internasional Dinna Prapto Raharja menjelaskan pada RMOL, “Kritik Vanuatu perlu diterima dengan kepala dingin dan dengan hati, bukan dengan defensif. Karena bagaimanapun juga memang masih ada masalah penggunaan kekerasan untuk berbagai alasan sosial dan politik di Papua, tengoklah komentar-komentar Komnas HAM tentang Papua.”
Ia menambahkan, keprihatinan mengenai masalah di Papua sebenarnya tak hadir dari ruang hampa. Itu bahkan datang dari dalam dan luar negeri. Sebelum ramai-ramai Indonesia sekak Vanuatu soal Papua, Komnas HAM pun sudah meminta agar negara segera menuntaskan masalah di Papua. Ini termasuk mendesak pemerintah menarik seluruh pasukan militer dari Tanah Cenderawasih.
“Jika memang masih ada keberatan pihak PBB berkunjung ke Papua, maka berilah kesempatan pada Komnas HAM & AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights) alias komisi HAM-nya ASEAN untuk melihat duduk masalah yang sesungguhnya dan memberikan solusi yang berperspektif HAM,” saran Dinna pada sumber yang sama.
Sebab, jika Indonesia terus-menerus latah bersikap defensif, maka alih-alih mendapat simpati dunia, yang terjadi justru sinisme yang makin besar atas pemerintah kita.
KRITIK VANUATU BUKAN KALI PERTAMA
Vanuatu termasuk salah satu negara yang ajeg mengkritik Indonesia atas pelanggaran HAM di Papua. Tak hanya di sidang PBB kemarin, Vanuatu bersama sejumlah negara di Kepulauan Pasifik lainnya, 28 September 2016, mendesak Indonesia untuk menggelar penentuan nasib sendiri warga Papua, jika diperlukan. Ini mengingat kasus pelanggaran HAM dan parade kekerasan yang marak di sana.
Dalam kesempatan itu, delegasi Indonesia, Nara Masista Rakhmatia berbalik menuduh negara-negara Kepulauan Pasifik mengobrak-abrik kedaulatan nasional Indonesia.
“Laporan bermotif politik mereka dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di Papua Barat, yang telah secara konsisten andil dalam menghasut kekacauan publik dan dalam melakukan serangan teroris bersenjata,” ungkapnya dalam video resmi PBB di Youtube.
Setahun berselang, tepatnya pada 25 September 2017, Vanuatu lagi-lagi membawa isu yang sama di sidang PBB. Ainan Nuran, delegasi Indonesia lantas meresponsnya dengan berkata, “Satu kali sudah terlalu banyak untuk hoaks dan dugaan keliru yang diedarkan oleh mereka yang hendak melakukan aksi separatis di Papua dan Papua Barat.”
Satu yang disayangkan, imbuhnya, para pengkritik tak pernah tahu bagaimana sejarah Papua bergulir, bagaimana pembangunan di timur Indonesia, tapi asal bicara di forum internasional.
Pada 2018 pun sama saja. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di sidang umum PBB relatif tersinggung saat menunjuk hidung Vanuatu dan berkomentar soal pentingnya menghormati kedaulatan negara lain. Sementara di 2019, diplomat Rayyanul Sangadji berkata, “Vanuatu ingin mengesankan bahwa mereka mendukung isu HAM. Padahal motif yang sebenarnya adalah negara itu mendukung agenda separatis.”
Tahun lalu, Vanuatu memang membuat Indonesia mengamuk setelah dengan sengaja memasukkan Benny Wenda, pentolan Gerakan Pembebasan Papua ke kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-bangsa (KTHAM PBB).
(Penulis : Purnama Ayu Rizky)