Oleh : Jon Kadis (Sekjen Komodo Lawyers Club, mantan Ketua PMKRI Bali)
LABUAN BAJO||TransTV45.com- Sepanjang pengetahuan saya, kasus pidana dari masalah pertanahan di Manggarai Raya ini pada dasarnya bermula dari klaim hak atas tanah. Klaim itu terjadi: 1) antar orang perorangan dalam satu kampung, masalah pembagian lahan tanah ulayat, 2) antar kampung, klaim lahan lingko kampung (tanah ulayat).
Lalu, masalah pidananya?
– Sesama warga kampung
Ketika salah satu pihak tidak menerima keputusan tua adat, ia menggunakan ‘kekuatan bertarung’ oleh ia sendiri atau mencari teman untuk bersama menduduki lahan dengan cara mengolah tanah tsb. Lebih jauh mencari pekerja bayaran, tentu dengan informasi siap bertarung ‘bowo dara’ (bahasa Manggarai, bertarung sampai mati atau hidup) ketika terjadi perlawanan. Untuk keperluan itu, mereka membawa parang, sekop, tombak yang juga sebagai sarana budaya untuk berburu. Di Manggarai, Flores atau di pedesaan umumnya, alat itu selain sebagai alat pertanian, juga sebagai senjata. Siap ‘bowo dara’ ketika ada perlawanan saat berada di lahan sengketa. Bowo dara sebagai masalah pidana muncul ketika terjadi perbuatan pertarungan, hidup atau mati. Tapi dengan sikap penguasaan lahan seperti itu, maka hal itu sebagai persiapan standby untuk bertarung hidup atau mati.
– Antar kampung.
Modusnya sama, tapi anggota pertahanan adalah sesama warga kampung melawan sesama di kampung lain, yang saling mengklaim hak atas lahan tanah itu. Siap bowo dara. Locus pertarungan adalah di lahan sengketa itu. Saya melihatnya bahwa modus ‘bowo dara’ penguasaan lahan dengan cara tersebut sebagai kebiasaan sejak zaman kolonial, masa adudomba penjajah Belanda.
– Beberapa kasus :
Pertama : Tentu di kepolisian ada datanya ketika terjadi masalah pidana. Saya tidak punya file data itu. Sebagai warga Manggarai yang lama tinggal di kampung, pernah saya tahu ada kasus bowo dara karena sengketa lahan di kampung Tiwung Tana di Kecamatan Lembor Selatan sekarang ini. Waktu itu saya masih sekolah SMP, SMA pada tahun 1970an. Tenaga bayaran didatangkan dari luar kecamatan, kalau tidak salah dari ‘tana eta’ ( istilah di masyarakat Lembor atau Kempo untuk sesama di wilayah Manggarai Tengah sekarang ini ).
Kedua : belum lama, adalah kasus ‘bowo dara’ di Menjerite, pantura Manggarai Barat di kawasan Rangko. Data tentu ada di kepolisian. Pekerja bayaran yang berada di situ, dari tana eta, bertarung dengan pihak yang merasa memiliki hak atas lahan. Perlengkapannya adalah parang, tombak, yah, alat pertanian itu. Selain untuk menebang pohon di lahan itu, tebas rumput, juga senjata untuk melumpuhkan lawan.
– Kasus tanah di Golo Mori
Saya membaca di media (suara-flores.com, suarapemredkalbar.com) bahwa ada juga kasus sengketa klaim lahan tanah antar sesama warga di sana. Saling klaim. Modus penguasaan lahan sama, mengolah tanah. Butuh parang dan tenaga. Bisa dilakukan sendiri bagi pihak yang merasa gesing ( bahasa Manggarai, kuat fisik, kuat untuk bekerja maupun kuat untuk bertarung man to man). Di Golo Mori itu, salah satu pihak mendatangkan tenaga bayaran dari kabupaten tetangga, Manggarai, 18 orang, dari kampung Popo dan Dimpong. Tenaga ini menduduki lahan sengketa lengkap dengan parang panjang.
Lalu pihak lain, yang juga mengklaim berhak atas tanah tersebut melapor ke polres Manggarai Barat di kota Labuan Bajo. Merespond laporan tersebut, Polres mendatangi lokasi, lalu membawa 21 orang tersebut ke Labuan Bajo, untuk diamankan dan diproses lebih lanjut, beserta barang bukti berupa parang dan lain-lain. Tindakan polisi itu untuk mencegah ‘bowo dara’ ini patut didukung. Apalagi kawasan ini diberi ruang untuk pertumbuhan ekonomi lebih cepat dari biasanya, dengan pencanangan Kawasan Ekonomi Khusus di program destinasi pariwisata super premium oleh Presiden Jokowi. Investor yang mau masuk ke sini butuh kenyamanan dalam berinvestasi dan kepastian hukum atas tanah, serta clear mafia tanah, sebagaimana seruan Presiden tersebut. Tindakan pencegahan Polres itu didukung oleh tokoh muda Desa Golo Mori serta para tokoh agama. Dan saya hampir pastikan bahwa para budayawan dan tokoh masyarakat Manggarai Barat mendukung langkah preventif ini.
Namun di media itu menampilkan seorang Advokat dari Flores yang tinggal di Jakarta, Petrus Selestinus (PS), dimana ia berpendapat bahwa “orang-orang Flores yang pergi bekerja kebun dengan membawa parang adalah bagian dari budaya Flores di bidang pertanian, dan itu juga terjadi di orang Flores di desa Golo Mori, Kabupaten Manggarai Barat”. Saya setuju, itu benar. Tapi PS salah, manakala dengan lantang ia mengatakan bahwa Polres Mabar menangkap para petani dalam kategori budaya yang ia sebut itu. Ah, ia tidak tahu masalah yang sesungguhnya. Apa yang ia katakan itu menyimpang dari fakta yang sebenarnya. Penyimpangan itu semakin jauh ketika PS berseru agar Kapolres Manggarai Barat dicopot dari jabatannya. Waduh, aneh !
– Dinamika dalam bingkai Pancasila
Dari semua kasus pidana penguasaan lahan tanah di Manggarai ( Barat, Tengah dan Timur) atau di Flores, NTT, atau di masyarakat pedesaan umumnya di Indonesia, itu semua karena klaim perdata atas tanah, baik secara perorangan maupun kolektif. Kasus itu adalah dinamika dalam kehidupan berbangsa dalam ideologi pemersatu, Pancasila.
– Harapan atas kasus Golo Mori
Publik dan kita semua berharap agar kasus ini clear and clean. Kasus itu awalnya perdata, saling klaim hak atas tanah. Lalu berkembang ke arah pidana. Berikan ruang kepada Polisi dan para penegak hukum, Penasihat Hukum / Advokat pendamping, untuk bekerja secara profesional menurut hukum yang berlaku. Saya masih ingat himbauan Kapolri, bahwa terhadap kasus pidana sengketa tanah, penanganan penyelesaiannya terlebih dahulu dengan restorative justice ( perdamaian dalam nuansa nilai budaya & kekeluargaan).
Hal utama dalam kehidupan ini adalah kedamaian dalam kebersamaan di bawah kolong langit ini, leluasa hidup merdeka dalam bingkai declaration of human rights itu, yang di NKRI ini termaktub dalam Pancasila. Unsur nilai budaya dalam masyarakat yang hidup di Golo Mori, Flores, juga terkandung dalam Pancasila itu. Mengakui ada kekuatan super diatas kemampuan manusia (sila pertama), ada kehidupan damai dalam persatuan ( sila kedua), ada nilai peradaban & martabat ( sila ketiga), ada nilai menyambut baik keputusan dari permusyawaratan ( sila keempat), ada tujuan hidup dalam kebersamaan ini yaitu keadilan sosial (sila kelima). Itu adalah harga mati, NKRI harga mati, Pancasila harga mati.
Wassalam, Labuan Bajo 06/09/2021 *(Red)