Firman Soebagyo dan Hendrik Lewerissa Terangkan Proses Pembentukan UU Cipta Kerja

Berita375 Dilihat

JAKARTA,TRANATV45.COM|Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Selasa (19/10/2021). Sidang pleno dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi. Sebanyak enam perkara pengujian UU Cipta Kerja digabung pemeriksaannya dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi dari DPR, yakni Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, 103/PUU-XVIII/2020, 105/PUU-XVIII/2020, 107/PUU-XVIII/2020, 4/PUU-XIX/2021, dan Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021.

Dua Anggota DPR RI yaitu Firman Soebagyo dan Hendrik Lewerissa memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan. Firman Subagyo mengatakan, Perkara 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020 dan Perkara 4, 6 /PUU-XIX/2021 yang dimohonkan para Pemohon adalah pengujian formil atas UU No. 11/2020. Selanjutnya Firman menjelaskan tahapan pembentukan undang-undang.

“Berdasarkan pengetahuan yang Saksi ketahui, pengujian formil suatu undang-undang terkait dengan proses pembentukan undang-undang dimaksud berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, proses pembentukan undang-undang pada pokoknya mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan,” kata Firman.

Berdasarkan kelima tahapan dalam pembentukan UU tersebut, jelas Firman, keterlibatan dirinya di dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja hanya meliputi tahapan perencanaan dan tahapan pembahasan saja. Firman menyatakan tidak terlibat di dalam penyusunan Rancangan UU Cipta Kerja.

“Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja merupakan tugas yang dilakukan oleh Pemerintah,” jelasnya.

Berbagai Masukan
Terkait dengan tahapan perencanaan, Firman menjelaskan, RUU Cipta Kerja telah terdaftar di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas tahun 2020. Di dalam Prolegnas tersebut, RUU Cipta Kerja ditetapkan sebagai RUU usul Pemerintah. Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam menyusun Prolegnas tahun 2002-2004 dan Prolegnas Prioritas tahun 2020 telah menerima berbagai masukan dari para pemangku kepentingan, baik berupa masukan secara langsung maupun secara tertulis.

Selanjutnya Firman menyebutkan 28 nama yang memberikan masukan, di antaranya masukan dari Jimly Asshiddiqie dan Maria Farida Indrati, Pemda Provinsi Sumatera Selatan, Pemda Istimewa Yogyakarta, Pemda Provinsi Jawa Timur, Pemda Provinsi Kalimantan Timur dan Pemda Provinsi Sulawesi Selatan beserta forum komunikasi pimpinan daerah, sivitas akademika dan masyarakat, Pengawas TVRI, Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Prolegnas 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2020 disusun oleh Baleg DPR bersama dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Panitia Perancang UU (DPD). Menurut Firman, masukan-masukan tersebut merupakan aspirasi terkait pembahasan substansi RUU Cipta Kerja yang awalnya disebut RUU Cipta Lapangan Kerja.

Mengenai pembahasan RUU Cipta Kerja, lanjut Firman, telah dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan, yakni di Tingkat I di Baleg DPR dan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR. Penunjukan Baleg DPR sebagai Alat Kelengkapan DPR yang membahas RUU Cipta Kerja berdasarkan penugasan yang diberikan oleh Badan Musyawarah DPR. Pembicaraan Tingkat I di Baleg DPR dilakukan sejak 14 April 2020 sampai 3 Oktober 2020 yang dilakukan secara daring dan luring (hybrid).

Pembahasan DIM
Anggota DPR Hendrik Lewerissa yang juga hadir sebagai Saksi DPR, mengungkapkan hal terkait dengan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Baleg DPR dan Pemerintah sepakat untuk membahas semua DIM yang ada, dimulai dari DIM yang ringan terlebih dahulu, kemudian berlanjut kepada DIM yang dianggap berat dan mendapat banyak perhatian publik.

“Selama pembahasan DIM, Badan Legislasi DPR juga tetap menerima berbagai saran dan masukan dari para pemangku kepentingan terkait,” kata Hendrik.

Lebih lanjut Hendrik menjelaskan, khusus DIM RUU terkait Bab IV tentang Ketenagakerjaan, telah disepakati untuk dibahas pada akhir pembicaraan Tingkat 1. Adanya kesepakatan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa Baleg DPR dan Pemerintah ingin agar para pemangku kepentingan terkait dapat berpartisipasi secara optimal terkait substansi RUU tersebut.

Dikatakan Hendrik, DPR bersama Pemerintah berusaha memperhatikan semua aspirasi pemangku kepentingan, baik tenaga kerja maupun pelaku usaha. Bahkan secara khusus, DPR melalui anggota fraksi dan Alat Kelengkapan DPR telah berulangkali menerima aspirasi dari berbagai perwakilan tenaga kerja dan para mahasiswa, baik di dalam dan luar Gedung DPR.

Selanjutnya, Hendrik menguraikan tentang partisipasi masyarakat terkait RUU Cipta Kerja. Pada 12 Agustus 2020, Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin dan Anggota Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo menerima Pengurus MUI. Kemudian pada 13 Agustus 2020, Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin dan Rachmat Gobel serta Wakil Ketua Badan Legislasi DPR M. Nurdin menerima perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN). Selain itu, Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin menerima Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Jabodetabek. Selanjutnya pada 18 Agustus 2020, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco dan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya menerima Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal.

Sebagaimana diketahui, permohonan pengujian UU Cipta Kerja dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 diajukan Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (Pemohon I), Novita Widyana (Pemohon II), Elin Dian Sulistiyowati (Pemohon III), Alin Septiana (Pemohon IV) dan Ali Sujito (Pemohon V). Pemohon I pernah bekerja di perusahaan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai Technician Helper. Namun akibat pandemi Covid-19, ia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dari tempatnya bekerja. Dengan diberlakukan UU Cipta Kerja, terdapat ketentuan norma yang menghapus aturan mengenai jangka waktu PKWT atau Pekerja Kontrak sebagaimana Pasal 81 UU Cipta Kerja. Hal ini menghapus kesempatan warga negara untuk mendapatkan Perjanjian Kerja Tidak Tertentu atau Pekerja Tetap.

Sedangkan Pemohon II adalah Pelajar SMK Negeri I Ngawi, jurusan Administrasi dan Tata Kelola Perkantoran. Pemohon II berpotensi menjadi pekerja kontrak dengan waktu tertentu tanpa ada harapan menjadi pekerja kontrak dengan waktu tidak tertentu, apabila UU Cipta Kerja diberlakukan. Pemohon III adalah mahasiswi pada program studi S1 Administrasi Pendidikan di Universitas Brawijaya dan Pemohon IV adalah mahasiswi pada program studi S1 Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Malang. Berikutnya, Pemohon V adalah mahasiswa pada program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Modern Ngawi (STIKP Modern Ngawi).

Permohonan Perkara Nomor 103/ PUU-XVIII/2020 diajukan Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto (Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Para Pemohon menguji secara formil Bab IV UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU Bab IV UU Bagian Kedua No. 11/2020 yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, “Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.” Juga Pasal 57 ayat (1), “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” Pasal 57 ayat (2), “Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.”

Para Pemohon Perkara Nomor 105/PUU-XVIII/2020 adalah Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK – SPSI) Roy Jinto Ferianto selaku Pemohon I bersama 12 Pemohon lainnya. Para Pemohon melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja dan pengujian materiil Pasal 81 angka 1, Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 2, Pasal 14 ayat (1) angka 3, Pasal 37 ayat (1) huruf b angka 4, Pasal 42 angka 12, Pasal 56 ayat (3) dan ayat (4) angka 13, Pasal 57 angka 14, Pasal 58 ayat (2) angka 15, Pasal 59 angka 16, Pasal 61 ayat (1) huruf c angka 20, Pasal 66 angka 23, Pasal 79 ayat (2) huruf b angka 24, Pasal 88 angka 25, Pasal 88A ayat (7), Pasal 88B, Pasal 88C angka 30, Pasal 92 angka 37, Pasal 151 angka 38, Pasal 151A angka 42, Pasal 154A angka 44, Pasal 156 ayat (4) huruf c Bab IV Bagian Kedua UU Cipta Kerja.

Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja dibangun dengan landasan naskah akademik yang tidak memadai, tidak menjabarkan secara komprehensif analisa mengenai perubahan ketentuan dalam 79 (tujuh puluh sembilan) Undang-Undang khususnya UU No. 13/2003 dalam Bab IV Ketenagakerjaan Bagian Kedua Ketenagakerjaan, serta tidak mampu menjawab urgensi pentingnya dilakukan perubahan dalam UU No. 13/2003, naskah akademik UU 11/2020 seolah-olah hanya dirumuskan untuk memenuhi formalitas syarat pembentukan undang-undang semata.

Permohonan Perkara Nomor 107 PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama 14 Pemohon lainnya. Para Pemohon juga melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja bertentangan dengan syarat formil pembentukan undang-undang dalam tahap perencanaan. UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan. UU Cipta Kerja tidak melalui pelibatan publik yang luas dalam prosesnya hanya melibatkan segelintir pihak saja. Bahkan draf RUU yang disampaikan kepada publik simpang siur alias kontroversial otentisitasnya.

Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK.

Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Secara formil, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan secara materiil, selain meminta MK menyatakan inkonstitusional ataupun inkonstusional bersyarat pada seluruh norma yang dipersoalkan, Pemohon juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sementara para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Problem konstitusionalitas tersebut terkait dengan tidak terpenuhinya syarat pemuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dalam Prolegnas menurut ketentuan UU No. 12/2011, tidak dipedomaninya ketentuan mengenai teknik dan sistematika pembuatan undang-undang menurut ketentuan UU No. 12/2011, dan tidak dipenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut ketentuan UU No. 12/2011.
CND™

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *