Pemerintah: Aturan yang Meniadakan PK dan Kasasi bagi Putusan PKPU Beri Kepastian Hukum

Berita427 Dilihat

JAKARTA, TRANSTV45.COM|Aturan yang meniadakan upaya hukum peninjauan kembali dan kasasi terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana diatur dalam Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) memberikan kepastian hukum. Demikian disampaikan oleh Min Usihen yang merupakan staf ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Sosial mewakili Pemerintah dalam sidang yang digelar pada Senin (18/10/2021).

“Norma pasal a quo memberikan kepastian hukum akibat PKPU baik bagi debitur maupun kreditur dalam rangka upaya mencegah terjadinya pailit. Sehingga norma pasal a quo secara khusus membedakan akibat pailit secara umum dan pailit akibat PKPU Secara khusus juga terdapat dalam pelaksanaan permohonan PKPU yang dapat diproses secara bersamaan dengan permohonan gugatan pailit di pengadilan niaga,” papar Min Usihen menanggapi Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 tersebut.

Namun, lanjut Usihen, permohonan PKPU diposisikan sebagai prioritas dalam proses persidangan. Dalam hal kepailitan dan PKPU diproses secara bersamaan di pengadilan niaga, maka permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu. Hal yang sama berlaku jika permohonan PKPU diajukan setelah permohonan pernyataan pailit.

“Ada beberapa perbedaan terkait upaya hukum atas putusan pailit dan putusan PKPU. Terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Sedangkan putusan pailit dapat diajukan kasasi maupun peninjauan kembali ke Mahkamah Agung,” papar Usihen dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.

Usihen juga menyampaikan berdasarkan tujuan dibentuknya UU 37/2004, persyaratan yang berlaku dalam penetapan pailit tidak didasarkan pada keadaan berhenti membayar ataupun ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya. Akan tetapi, sambungnya, hanya didasarkan pada tidak dibayarnya utang yang telah terbukti jatuh tempo dan dapat ditagih.

“Dengan kata lain, dalam Undang-Undang KPKPU, sepanjang debitur terbukti tidak membayar, tidak masalah apakah debitur tidak membayar karena tidak mau, ataupun tidak mampu, ataupun debitur tersebut masih sehat atau telah insolven. Maka debitur tersebut dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga,” papar Usihen.

Selain itu, Usihen juga menjelaskanUU 37/2004 menyatakan semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas memerintahkan pencoretannya. Sita yang dimaksud merupakan sita umum yang dikenal dalam hukum perdata sebagai jaminan bersama seluruh kreditur untuk pembayaran kewajiban keperdataan debitur terhadap pihak lainnya.

“Sebagai lembaga sita umum dalam penyelesaian utang debitur, kepailitan dipandang sebagai jalan keluar bagi permasalahan utang piutang antara debitur dan krediturnya,” tandas Usihen menanggapi Perkara Nomor 24/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang tersebut hadir pula Anggota Komisi III DPR Misbakhun yang menyampaikan bahwa dalam pokok permohonan Nomor 23/PUU-XIX/2021, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan mekanisme hukum yang jelas yaitu melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan tujuan mengadakan rencana perdamaian antara pihak mengenai rekturisasi hutang debitur kepada para kreditur yang diharapkan debitur dapat melakukan pembayaran utang dengan jalan perdamaian.

Misbakhun menambahkan kreditur mempunyai kedudukan dan hak yang sama terhadap semua harta debitur. Harta kekayaan debitur merupakan jaminan bersama untuk para kreditur secara proporsional kecuali apabila ada hak didahulukan dalam menerima pembayaran tagihan. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa permohonan PKPU harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Putusan atas permohonan PKPU apabila diajukan setelah permohonan dinyatakan pailit harus diterbitkan terlebih dahulu.

“Hal ini sejalan dengan maksud dari UU a quo. Untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, efektif dan mengedepankan perdamaian antara debitur dan kreditur melalui PKPU dibandingkan dengan kepailitan yang memiliki dampak hukum berupa sita umum terhadap seluruh kekayaan debitur dan hilangnya keperdataan debitur terhadap harta kekayaannya,” papar Misbakhun.

Ketentuan Upaya Hukum
Menanggapi Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021, Misbakhun menjelaskan PKPU adalah forum perdamaian kolektif antara debitur dengan kreditur yang melibatkan pengadilan. Hal ini ditegaskan dengan peran pengadilan dalam pengesahan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (1) UU 37/2004. Ia mengatakan, pengadilan dapat menolak atau mengesahkan perdamaian. Apabila pengadilan menolak mengesahkan perdamaian maka dalam putusan yang sama pengadilan wajib menyatakan debitur pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo.

“Terhadap penolakan perdamaian ini tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (4) UU KPKPU. Namun apabila pengadilan mengesahkan perdamaian maka terhadap putusan pengesahan perdamaian tersebut dapat diajukan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal UU a quo,” jelas Misbakhun.

Selain itu, lanjut Misbakhun, pengaturan yang menyebut tidak adanya upaya hukum terhadap putusan PKPU atau pailit yang didahului permohonan PKPU dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 290 UU a quo diperkuat dengan surat edaran Mahkamah Agung (MA) tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar MA tahun 2015 sebagaimana pedoman pelaksanaan tugas bagi pelaksana pengadilan dalam praktik peradilan.

Ruang lingkup pemberlakuan upaya hukum dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) Undang-Undang 37 Tahun 2004 hanya terhadap putusan pailit yang tidak melalui proses PKPU. Sedangkan dalam hal putusan pailit yang melalui proses PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum termasuk upaya peninjauan kembali. Ketentuan Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), Pasal 295 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 merupakan norma yang terikat yang tidak dapat dipisahkan karena dilatarbelakangi oleh tujuan dan latar belakang dari lembaga PKPU itu sendiri.

Dampak Putusan Pailit
Selain itu Misbakhun juga mengatakan tujuan kepailitan dalam UU 37/2004, di antaranya mencegah agar debitur tidak melakukan tindakan yang merugikan kreditur. Selain itu, melindungi kreditur kongruen untuk memperoleh hak mereka, memberikan kesempatan pada debitur dan krediturnya untuk melakukan restrukturisasi utang, dan memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dengan cara pembebasan utang.

Misbakhun menyebut kondisi tersebut justru membantu debitur—yang dalam hal ini adalah Para Pemohon—untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutangnya dan juga perkara konkret Pemohon lainnya yang berkaitan dengan harta benda yang menjadi jaminan dari utang-piutang tersebut.

“Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas tergambar bahwa tujuan diundangkannya Undang-Undang 37 Tahun 2004 adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi kreditur secara umum dalam perspektif kepentingan publik pada proses kepailitan,” tandas Misbakhun.

Untuk diketahui, pada sidang pendahuluan, Pemohon perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh PT. Sarana Yeoman Sembada yang diwakili oleh Sanglong alias Samad selaku Direktur Utama. Pemohon menguji norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Pemohon dijatuhkan status PKPU pada putusan perkara yang keempat yang artinya ada 3 (tiga) perkara yang sebelumnya yang pihaknya, alat buktinya sama ditolak. Tetapi pada perkara keempat pihaknya sama, alat buktinya sama, tetapi dikabulkan. Menurut Pemohon Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon merasa hak hukumnya telah dirampas dan dirugikan, dikarenakan ketentuan bunyi pasal tersebut.

Padahal upaya hukum Kasasi dan PK merupakan suatu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa agar Putusan Pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun MA yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan pemeriksaan kembali kepada MA sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi Negara, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan bila terjadi atas putusan Pengadilan di tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi.

Dimana kesalahan atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia, termasuk Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara, meskipun Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

Sehingga Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, untuk itu dapat diajukan upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Sementara perkara Nomor 24/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Calvin Bambang Hartono yang merupakan salah satu debitur bank swasta di Indonesia. Pemohon yang merupakan salah satu debitur Bank Swasta di Indonesia, yakni PT. Bank Bukopin dengan mendapatkan kredit/pinjaman dengan jaminan tanah dan bangunan yang kredit/pinjaman tersebut diikat dengan akta Perjanjian Kredit. Atas kredit/pinjaman yang diikat dengan akta Perjanjian Kredit oleh Bank Bukopin tersebut, namun adanya obyek Tanah dan Bangunan luas 538 m² dengan lima Sertifikat Hak Milik Nomor 189/Desa Panjangjiwo atas nama Tjandra Liman sebagaimana dimaksud angka 2 (dua) huruf (b) sampai saat ini belum adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas pemberian kredit/pinjaman dimaksud.

Pemohon mengatakan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan ruang kepada seseorang atau badan usaha dan badan hukum yang telah dinyatakan pailit. Padahal sebelumnya Pemohon telah melakukan upaya-upaya hukum terkait dengan perkara-perkara yang sedang dihadapi. Dalam petitumnya,

Pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa “Putusan Pernyataan Pailit Berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur” sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU UU Kepailitan dan PKPU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
CND™

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *