Pengadilan Negeri Tak Memutus Penghentian Penyelidikan, KUHAP Diuji

Berita274 Dilihat

JAKARTA, TRANSTV45.COM|Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis (21/10/2021). Permohonan yang teregistrasi sebagai Perkara 53/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Anita Natalia Manafe.

Pemohon menguji Pasal 77 huruf a KUHAP, “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Diwakili kuasa hukum Alvin Lim dkk, Pemohon menegaskan dirinya merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf a UU KUHAP, terkait dengan wewenang Pengadilan Negeri untuk mengadili di praperadilan. Pemohon dirugikan dengan dilakukannya penghentian penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik sebagaimana tertera dalam surat Pemberitahuan Penghentian Penyelidikan Nomor B/2817/VIII/RES.1.11/2021/Ditreskrimum dalam Laporan Polisi No LP/1860/IV/YAN2.5/2021/SPKT PMJ tanggal 7 April 2021, karena tidak dicantumkannya wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus penghentian penyelidikan dalam praperadilan pada pasal a quo.

“Dalam pasal a quo, Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus penghentian penyidikan, namun tidak mencantumkan wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus penghentian penyelidikan yang dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan,” kata Alvin kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.

Berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP, Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus SP3, namun tidak dicantumkan wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus penghentian penyelidikan SP2.LID. Bahwa ketentuan tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon dimana dalam proses penyidikan dapat diajukan Praperadilan sebagai cek dan ricek apabila ada kemungkinan pelanggaran formil yang terjadi, namun dalam proses penyelidikan di Kepolisian, tidak dapat diajukan proses Praperadilan ke Pengadilan Negeri, sehingga hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil tidak tercapai apabila ada kesalahan formil yang terjadi dalam proses penyelidikan di Kepolisian sebagaimana dialami Pemohon.

Pemohon mengajukan keberatan atas penghentian penyelidikan karena adanya dugaan pelanggaran hukum formil. Salah satunya adalah penyidik pada Polda Metro Jaya yang menolak memeriksa saksi yang diajukan oleh Pemohon, penyidik mengabaikan dengan tidak mau memeriksa saksi kunci, sehingga Pemohon merasa adanya tindakan kesewenangan dari penyelidik Polri. Padahal dalam penyelidikan tugas penyelidik adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga memiliki unsur pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Dengan tidak dilakukan pemeriksaan terhadap saksi kunci, maka dugaan kuat penyelidikan tidak dilakukan sesuai syarat formil dan Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil karena adanya kesewenangan penyelidik.

Penulisan Gelar

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyoroti identitas kuasa hukum Pemohon. “Untuk penulisan gelar para kuasa hukum dalam permohonan, agar Anda memperhatikan Peraturan Pemerintah mengenai penulisan gelar. Juga dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga disebutkan mengenai penulisan gelar. Bahwa gelar-gelar yang tidak resmi tidak bisa dipakai dalam permohonan,” ujar Arief.

Sedangkan dalam kedudukan hukum Pemohon, Arief meminta Pemohon agar lebih menperjelas kerugian konstitusional Pemohon akibat berlakunya pasal yang diujikan Pemohon. “Sebagai Pemohon perseorangan dimana kerugiannya. Tolong dijelaskan, Apakah kerugiannya disebabkan oleh Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981. Hal ini lebih dipertegas,” kata Arief yang juga meminta Pemohon agar memperjelas kasus konkret yang dialami.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menasehati Pemhaohon agar menggunakan Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 dalam permohonan. Selain itu, Daniel menegaskan Pemohon agar lebih memperhatikan teknis penulisan hukum. Di antaranya, mengenai penulisan pasal dalam permohonan, huruf awal pasal ditulis dengan huruf besar meski di tengah kalimat. Termasuk penulisan bahasa asing dalam permohonan harus dituliskan miring.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati hanya 11 kuasa hukum Pemohon yang menandatangani surat kuasa Pemohon. Padahal menurut Manahan, dalam permohonan tertulis jumlah seluruh kuasa hukum Pemohon ada 28 orang. “Ini coba diperhatikan,” ujar Manahan kepada tim kuasa hukum Pemohon yang hadir secara virtual. Lainnya, Manahan menyarankan Pemohon agar mempelajari sistematika permohonan melalui Peraturan MK (PMK) No. 2 Tahun 2021 sebagai PMK terbaru.
CND™

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *