Sidang Uji UU Narkotika Ditunda. Saksi Pemohon Berhalangan Hadir

Berita189 Dilihat

JAKARTA. TRANSTV45.COM | Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), pada Kamis (11/11/2021) secara daring. Sedianya, agenda sidang Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada hari ini adalah mendengarkan keterangan saksi dari pemohon, namun persidangan ditunda dikarenakan saksi dari pemohon berhalangan hadir.

“Pasca perubahan jadwal dari pihak Kepaniteraan yang disampaikan kepada kami H-1 pun, kemudian kami kesulitan untuk menjalin komunikasi dengan saksi yang kami hadirkan. Sehingga, pada persidangan hari ini saksi yang ingin kami hadirkan tidak bisa hadir pada kesempatan hari ini,” ujar Ma’ruf Bajammal selaku kuasa hukum Pemohon.

Oleh karena saksi tidak hadir, sambung Anwar, pemohon yang diwakili kuasanya meminta persidangan ditunda. “Karena tidak ada agenda lagi, untuk itu sidang ditunda Selasa, 7 Desember 2021 pukul 11.00 WIB,” imbuh Ketua MK Anwar Usman.

Sebelumnya, Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI). Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.

Sebagai informasi, Dwi Pertiwi sebagai salah seorang ibu yang menjadi Pemohon, terungkap pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini. Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.

Sementara kedudukan hukum Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. Menurut para Pemohon, penjelasan norma a quo telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Hak demikian sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.

Di samping itu, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika memberikan peluang dilakukannya penelitian terhadap narkotika Golongan I dengan ketentuan tertentu. Dengan demikian, ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika Golongan I.
(RED)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *