Kepaniteraan MK Gelar Rapat Evaluasi Dukungan Penanganan Perkara

Berita208 Dilihat

YOGYAKARTA. TRANSTV45.COM| Pembenahan terhadap kekurangan dan kelemahan dalam penyelesaian dan penanganan perkara, baik pengujian undang-undang (PUU), sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) maupun perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHPKada) merupakan bagian dari evaluasi dalam rangka peningkatan kualitas dukungan, bagi para Hakim Konstitusi guna penyelesaian penanganan perkara.

Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman pada pembukaan Rapat Kepaniteraan “Kegiatan Evaluasi dan Peningkatan Kualitas Dukungan kepada YM. Hakim Konstitusi Dalam Rangka Penyelesaian Penanganan Perkara PUU, SKLN, dan PHPKada” pada Kamis (18/11/2021) malam di Yogyakarta.

“Evaluasi dimaksud, mulai dari penerimaan permohonan, penerimaan berkas perkara, registrasi perkara, penjadwalan sidang, pemanggilan para pihak, pelaksanaan persidangan, hingga penyusunan draf putusan, merupakan hal yang harus dievaluasi dan koreksi bersama. Hal ini penting untuk kita lakukan, agar kita sebagai organisasi lembaga peradilan senantiasa memotivasi diri dalam rangka meningkatkan kinerja guna memberikan layanan yang terbaik kepada publik yang hendak mencari keadilan di Mahkamah Konstitusi,” jelas Anwar.

 

Perkembangan Hukum Acara MK
Bisnis proses dalam penanganan perkara di lembaga peradilan, sesungguhnya tergambar melalui hukum acara yang menjadi guidelines atau panduan bagi setiap pihak yang akan berperkara, begitu pula halnya di Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, Hukum Acara MK sejak MK berdiri pada 2003, diatur secara umum dalam UU MK dan pengaturannya secara lebih rinci diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Ikhtiar dan pembahasan tentang pentingnya mengatur kembali Hukum Acara MK dan penempatannya dalam undang-undang tersendiri telah dilakukan beberapa kali. Namun, pembahasan tersebut tidak bermuara kepada diaturnya secara khusus Hukum Acara MK di dalam suatu undang-undang tersendiri.

“Perkembangan tentang Hukum Acara MK justru terjadi melalui praktik persidangan dan putusan yang dikeluarkan oleh MK. Hal ini bahkan telah dilakukan oleh Hakim Konstitusi sejak generasi awal hingga saat ini. Perkembangan tentang Hukum Acara MK melalui praktik dan putusan sesungguhnya bukan merupakan kehendak MK, melainkan untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik dan bahkan untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara,” urai Anwar.

Jembatan Para Pihak
Anwar lebih lanjut menguraikan pentingnya hukum acara. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa hukum yang bersifat substantif atau hukum materiil hanya dapat ditegakkan melalui hukum formil (hukum acara) yang adil (fair) dan memberikan kepastian hukum (legal certainty) bagi para pihak yang berperkara (substantive law only can reach by a fair formal law).

“Hukum acara seolah dapat diibaratkan sebagai jembatan bagi para pihak yang berperkara, menuju keadilan yang hendak ditujunya. Tanpa hukum acara yang memberikan kepastian hukum yang adil, maka tidak mungkin hukum materiil dapat ditegakkan. Oleh karena belum ada undang-undang yang bersifat khusus yang mengatur tentang Hukum Acara MK dan guna melengkapi ketentuan hukum acara dalam UU Mahkamah Konstitusi itulah, maka disusunlah Peraturan MK tentang Hukum Acara,” papar Anwar.

Dikatakan Anwar, PMK tentang hukum acara memang tidak bersifat formil (rigid), sebagaimana hukum acara lainnya. Oleh karena itu, baik dalam PMK yang lama maupun PMK yang baru tentang hukum acara, sifatnya merupakan pedoman dan panduan bagi para pihak yang berperkara. Bahkan dalam beberapa situasi tertentu, tidak menutup kemungkinan Majelis Hakim harus melakukan musyawarah untuk mengambil jalan atau langkah tertentu, manakala perkembangan di dalam persidangan membutuhkan hal yang baru, sesuai dengan dinamika persidangan yang terjadi.

 

Pembahasan Tiga Draf PMK
Secara teoritik, ungkap Anwar, hukum acara merupakan produk dari law making proccess, atau menjadi tanggung jawab pembentuk UU di lembaga legislatif. Namun, secara teoritik pula, perkembangan hukum acara dalam praktik (law applying) juga memiliki basis legal reasoning yang dapat dibenarkan. Idealnya, seharusnya keduanya dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi, dalam rangka mewujudkan kepastian hukum yang adil bagi para setiap warga negara yang berikhtiar untuk mencari keadilan.

“Hari ini, guna peningkatan kualitas pelayanan dan dukungan dalam penyelesaian penanganan perkara, kita akan membahas tiga draf Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yaitu PMK tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Formil, PMK tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Materiil Undang-Undang, dan PMK tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Semoga pembahasan ketiga draft PMK dimaksud, mencapai hasil sebagaimana yang kita harapkan bersama,” tandas Anwar.

Latar Belakang Evaluasi
Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dalam kesempatan ini menjelaskan latar belakang kegiatan evaluasi ini. Terlebih dulu Guntur menyebutkan data perkara terkini yang diputus MK pada 2020-2021.

“Dalam kurun waktu tahun 2020 sampai dengan November 2021, MK telah memutuskan 89 PUU pada 2020, 71 perkara PUU pada Januari-November 2021, 1 perkara SKLN pada Januari-November 2021, 151 perkara PHPKada tahun 2020-2021,” ungkap Guntur.

Dijelaskan Guntur, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK memiliki peran penting dalam memberikan dukungan kepada para Hakim Konstitusi dalam penanganan perkara di MK. Proses penanganan perkara di MK berpedoman pada UU No. 24 Tahun 2003, PMK dan Peraturan Ketua MK.

“Terhadap seluruh proses penanganan perkara di MK perlu dilakukan evaluasi terhadap setiap tahapan proses, tugas, dukungan, sarana prasarana pendukung dari setiap unsur di MK dalam rangka meningkatkan, memperbaiki serta memastikan dukungan kualitas kinerja MK di kemudian hari,” ucap Guntur.

Dalam kaitan dengan perkara pengujian formil, lanjut Guntur, Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 menegaskan pembatasan waktu dimana MK menangani perkara pengujian formil dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja sejak perkara dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Selain itu, MK telah menyusun PMK tentang Tata Beracara Pengujian Formil UU dan PMK tentang Tata Beracara Pengujian Materiil. Hal lainnya, dalam kaitan dengan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, UU MK mengatur tentang keberadaan Majelis Kehormatan MK yang merupakan perangkat yang dibentuk MK untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi yang diduga melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
{RED™}

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *