KUPANG.TRANSTV45.COM| Kasus dugaan korupsi pembelian Medium Term Notes (MTN) senilai Rp50 Miliar di Bank NTT yang menjadi temuan BPK Nomor : 1/LHP/XIX. KUP/01/2020 Tanggal : 14 Januari 2020, mendapat tanggapan serius dari Dewan Peewakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur (DPRD NTT).
BPK RI dalam hasil auditnya merekomendasikan dua (2) hal yakni yakni, merecovery kerugian bank sebesar Rp 60,5 M yang terdiri dari Pokok surat berharga Rp 50 M dan bunga cuopon Rp 10,5 M dan memberikan sanksi kepada pejabat yang terlibat dalam pembelian MTN.
Dalam pemandangan umum DRPD NTT, Fraksi PKB meminta Direktur Utama Bank NTT menjelaskan persoalan yang terkait dengan hasil audit BPK RI.
Bahkan telah dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPRD NTT.
Dalam rapat RDP tersebut, Direktur Utama Bank NTT, Alex Riwu Kaho, menyampaikan bahwa persoalan MTN sudah selesai dan saat ini ditangani Kurator.
Tanggapan Dirut Bank NTT menggelitik Anggota DPRD NTT, Yohanes Rumat.
Menurut Yohanes Rumat, pernyataan Dirut Bank NTT merupakan sebuah lelucon yang tidak lucu.
“PT. SNP sudah pailit, Kurator mau sita aset yang mana,” tanya Hans Rumat.
Lebih lanjut Hans Rumat menjelaskan, agunan yang dimiliki PT SNP akan disita oleh kurator untuk menutup kredit macet PT SNP pada bank Mandiri Sebesar Rp 1,4 T. Belum lagi pinjaman pada 13 bank Nasional yang lain sebesar 2,2 T.
Dia menilai, Jaminan berupa underlying pada PT BNI sebagai penjamin yakni Fidusia Piutang aktif dinilai abal-abal atau fiktif.
“Fidusia itu abstrak, beda dengan agunan fisik seperti yang di agunkan pada pinjaman Rp1,4 T di bank Mandiri. Tunggakan ini sudah berlangsung 3 tahun. Kapan Kurator itu bisa menyita agunan PT SNP pak Dirut,” tanya Anggota DPRD NTT Fraksi PKB itu.
Dia heran, BPK dalam rekomendasinya meminta agar Direksi memberi sanksi kepada pejabat dan petugas yang terlibat dalam pembelian MTN, namun sama sekali tidak digubris.
“Boro-boro diberi sanksi, malah Alex Riwu Kaho yang terlibat langsung dalam pembelian MTN ini dinaikan jabatannya menjadi DIRUT bank NTT,” ujar Hans Rumat.
Menurut Hans Rumat, setidaknya ada 7 pelanggaran materil yang dilakukan dalam pembelian MTN, yang harus diperhatikan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaat Tinggi NTT, yakni
1. Investasi pembelian MTN tersebut dilakukan tanpa didahului analisa kelayakan, due diligence atau uji tuntas.
2. Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena pada saat pembelian MTN PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN.
3. Pembelian MTN tidak masuk dalam rencana bisnis PT Bank NTT tahun 2018
4. Selain itu PT Bank NTT tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal lebih jauh atas pengurus/manajemen PT SNP. Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT SNP baru terjadi setelah PT SNP mengalami permasalahan gagal bayar.
5. Pembelian MTN tidak melalui telaah terhadap laporan keuangan audited PT SNP Tahun 2017 namun hanya berpatokan peringkatan yang dilakukan oleh Pefindo tanpa mempertimbangkan catatan pada pers release Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan belum berdasarkan Laporan Keuangan audited PT SNP Tahun 2017, sehingga mitigasi atas risiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik.
6. PT Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak melakukan pembelian MTN.
7. Tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT SNP pada SLIK OJK (SLIK= Sistim Laporan Informasi Keuangan atau checking pinjaman pada bank lain).
Pembelian MTN PT SNP oleh PT Bank NTT mengalami gagal bayar dan saat ini sedang dilakukan proses PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Hal ini mengakibatkan pembelian MTN senilai Rp50.000.000.000,00 merugikan PT Bank NTT dan potensi pendapatan yang hilang atas coupon rate senilai Rp10.500.000.000,00 (sepuluh milliard lima ratus juta rupiah).
“Pertanyaan lalu bagaiman jika kerugian ini tidak bisa di bayar oleh PT SNP? jawabannya adalah mereka yang terlibat dalam pembelian MTN ini harus mengganti kerugian ini. Karena sejak awal tampak sekali ada “kesengajaan” mereka tidak menaati ketentuan tentang pembelian surat berharga,” tegas Yohanes Rumat.
“Jika tidak bisa ganti rugi maka, Jaksa harus bertindak tegas sesuai undang-undang yang berlaku,” tutupnya.
Sementara itu, diberitakan media ini sebelumnya, Kasi Penkum dan Humas Kejati NTT, Abdul Hakim, S. H kepada wartawan, Selasa (23/11/2021) yang dikonfirmasi menegaskan bahwa Terkait kasus senilai Rp50 miliar tetap berproses.
“Terkait Kasus Rp50 miliar tersebut, Tipidsus Kejati NTT dipastikan kasus tetap berproses dan tetap berjalan,” tegas Abdul Hakim.
Untuk diketahui bahwa dalam kasus dugaan korupsi senilai Rp50 Miliar, tim penyidik Tipidsus Kejati NTT telah memeriksa Direktur Utama (Dirut) Bank NTT, Alex Riwu Kaho.
Selain itu, tim penyidik Tipidsus juga telah memeriksa mantan Dirut Bank NTT, Edy Bria Seran, Kepala Divisi Treasury, Zet Lamu dan sejumlah saksi di Medan, Sumatera Utara. *(MBN/NTT/RED)