Temui Ribuan Demonstran di Halaman Kantor Bupati Mabar, Ini Penegasan Edi Endi

Breaking News312 Dilihat
Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi., S.E., Temui Massa Aksi di Halaman Kantor Bupati Manggarai Barat, Senin siang. (Foto : Isth)

LABUAN BAJO-TRANSTV45.COM| Para peserta aksi penolakan kenaikan tiket ke TNK dipimpin Rafael Todowela geruduk kantor Bupati. Kedatangan para demonstran disambut Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, di halaman kantor Bupati Manggarai Barat, Senin (18/7/2022) siang.

Bupati didampingi oleh beberapa stafnya menghampiri para peserta aksi. Di tengah peserta aksi, bupati berkomitmen akan memfasilitasi FORMAPP untuk bertemu pihak KLHK dan pihak Pemerintah Provinsi NTT.

“Saya tegaskan bahwa kita akan bersama-sama besok, Selasa, (19/72022), untuk merumuskan surat ke pemerintah pusat maupun pemprov terkait pernyataan sikap saudara-saudara hari ini. Dan saya minta pak Rafael (Ketua FORMAPP) bersama perwakilan yang lain untuk bersama-sama bertemu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, dan pemerintah Provinsi di Kupang,” tegas Edistasius Endi dihadapan peserta aksi.

Bupati Edistasius juga menegaskan, berdasarkan kewenangan yang dimiliki Pemda Mabar di wilayah TNK cukup terbatas.

“Secara adminstrasi itu wilayah Mabar. Namun dalam pelaksanaanya ada otoritas di dalam wilayah itu dan pemda Mabar tidak punya kewenangan dalam mengelola BTNK,” jelas Edistasius.

Sebagai pemerintah daerah, lanjut Bupati Edi, pihaknya tentu tidak akan berbeda dengan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi terkait kebijakan di wilayah TNK.

Aksi penolakan kenaikan tiket ini dipimpin oleh Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp).

Disaat bertemu dengan bupati Mabar, FORMAPP juga menyampaikan beberapa tuntutan.

“Dengan ini secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana kenaikan tiket menjadi Rp 3.75 Juta dan berbagai praktek monopoli bisnis berbasis korporasi di Taman Nasional Komodo. Kebijakan ini sangat bertentangan dengan konservasi dan keadilan ekonomi sebagai prinsip dasar pariwisata di TN Komodo yang selama ini sangat kami junjung tinggi,” tegas Rafae Todowela ketua FORMAPP.

FORMAPP pun mengajak Pemerintah untuk mencermati kembali beberapa point penting seputar rencana kontroversial kenaikan tiket ke TNK.

Pertama, Melalui kebijakan yang secara mendadak diberlakukan mulai 1 Agustus ini, Pemerintah menetapkan entrance-fee ke kawasan TN Komodo menjadi RP.3,75 juta/orang untuk periode satu tahun. Skema ini juga diterapkan secara kolektif dengan Rp 15 juta untuk empat orang/tahun.

Kedua, Kebijakan ini menempatkan PT Flobamora sebagai pengelola tunggal melalui paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) untuk Pulau Komodo dan Pulau Padar serta perairan di sekitarnya. Dana sejumlah Rp 15 juta melaui paket wisata EVE ini akan diolokasikan untuk berbagai kepentingan yaitu (1) Rp 2 juta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke pemerintah, khususnya Balai TN Komodo; (2) Rp 200.000 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke Pemprov dan Pemkab; (3) Rp 100.000 biaya Asuransi; (4) Rp 7,1 juta dana konservasi; (5) Rp 5,435 juta fee (upah) PT Flobamor; (5) Rp 165.000 biaya pajak.

Ketiga, Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini dilakukan dalam rangka konservasi di TN Komodo. Sebagaimana yang ditegaskan dalam position paper PT Flobamora, pengaturan jumlah pengunjung hasil kajian daya dukung daya tampung wisata (DDDTW) berbasis jasa ekosistem adalah dengan sistem pembatasan (jumlah) pengunjung dilakukan dalam rangka untuk meminimalisir dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kelestarian populasi komodo dan satwa liar lainnya, mempertahankan kelestarian ekosistem TN Komodo, kenyamanan dan keamanan pengunjung serta petugas selama beraktivitas di dalam kawasan TN Komodo. Berdasarkan hasil kajian tersebut, adapun jumlah ideal wisatawan yang diperoleh yaitu 219.000 orang/tahun dengan jumlah maksimal kunjungan sebanyak 292.000 orang pertahun.

Keempat, Kebijakan yang membawa-bawa agenda konservasi ini hadir di tengah masifnya protes publik atas sederetan pembangunan dalam kawasan TNK yang membahayakan konservasi dan ekonomi masyarakat lokal. Dalam empat tahun belakangan ini, warga terus mendesak Pemerintah untuk mencabut izin-izin perusahaan swasta dalam kawasan TNK (PT SKL di Pulau Rinca, PT KWE di Pulau Padar & Komodo dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa). Selain itu warga Kampung Komodo juga memprotes keras rencana pemindahan mereka pada tahun 2019 dalam rangka menjadikan Pulau tersebut sebagai destinasi wisata eksklusif. Hingga sekarang, protes publik telah mendapatkan perhatian dari lembaga internasional UNESCO dengan melalukan kunjungan lapangan (reactive monitoring) beberapa waktu lalu. Hingga sekarang publik tetap menunggu bagaimana langkah selanjutnya dari Pemerintah atas beberapa isu penting ini.

Atas point-point di atas, FORMAPP menyampaikan beberapa catatan kritis berikut:

1. Kebijakan ini sangat merugikan masyarakat lokal Kabupaten Manggarai Barat dan masyarakat NTT secara umum yang selama ini hidup dari sektor pariwisata. Peningkatan harga tiket secara drastis menjadi sangat mahal berpotensi menurunkan jumlah wisatawan yang datang ke Flores, NTT. Disertai dengan pembangunan resort-resort ekslusif di dalam Kawasan konservasi, pengunjung yang terbatas dan ekslusif itu dicaplok oleh perusahaan-perusahaan yang sudah diberi izin beroperasi di dalam Kawasan Taman Nasional. Kebijakan ini mematikan mata pencaharian masyarakat yang umumnya berskala kecil dan menengah.

2. Waktu penetapan kebijakan ini yang terjadi langsung setelah Pandemi, yaitu pada saat ekonomi pariwisata baru perlahan-lahan hidup kembali, merugikan masyarakat pelaku pariwisata dan menghambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi pada umumhya. Pada saat ini, sejumlah wisatawan membatalkan kunjungan mereka ketika mendengar informasi kenaikan tiket ini.

3. Selain meminggirkan warga lokal, kebijakan ini juga merupakan praktek monopoli bisnis pariwisata di tangan segelintir orang. Skema ini memposisikan PT Flobamora dan para mitra bisnisnya menjadi penguasa atas pariwisata di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Kunjungan berbasis quota yang dikuasi oleh PT ini sangat berpontesi merugikan para pelaku pariwisata setempat karena akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Penerapan quota yang disetai dengan digitalisasi atau registrasi online otomatis hanya akan menguntungkan PT Flobamora yang sudah tentu menguasai system ini dari hulu hingga hilir. Keuntungan yang diambil oleh PT Flobamora ini juga bombastis; yaitu Rp. 5.435.000 per 4 pengunjung. Dengan total target 292,000 pengunjung per tahun, maka PT ini akan meraup dana Rp, 396.755.000.000 (396.755 Milyard) dari tiket masuk.

4. Melalui kebijakan ini Pemerintah, secara khusus KLHK telah menciptakan hoax terbaik yaitu penyebab rusaknya konservasi di TN Komodo adalah warga lokal. Padahal dalam kenyatannya, penghancuran ekosistem secara massif dalam TN Komodo justeru disebabkan oleh pembangunan infrastruktur dalam skala besar, baik oleh negara maupun yang akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang telah mengantongi izin untuk membangun resort-resort eksklusif. Telah kita saksikan bagaimana penghancuran ekosistem di Pulau Rinca akibat pembangunan Jurrassic Park. Penghancuran eksositem bahkan jauh lebih dahsyat akan terjadi jika Pemerintah tetap menutup mata dan telinga atas rencana pembangunan resort-resort eksklusif oleh perusahaan-perusahaan swasta.

5. Selain itu juga pemberlakukan tiket seperti ini juga menyebabkan ketidakadilan bagi wisatawan yang ingin menikmati TN Komodo sebagai situs warisa dunia. Perlu dicatat bahwa berwisata ke TN Komodo merupakan hak banyak orang yang ingin menikmati kekayaan pengatahuan dan kebudayaan dari cagar alam men and biosfer tersebut.

Bertolak dari bebrapa catatan kritis di atas, FORMAPP menyampaikan beberapa tuntutan berikut:
Pertama, Mendesak Presiden untuk membatalkan pemberlakuan kenaikan tiket 3,75 juta/orang pada Agustus mendatang dan seluruh praktek monopoli bisnis di Taman Nasional Komodo. Kami juga menolak system registrasi online yang melanggengkan monopoli itu.

Kedua, Kami mendesak Pemerintah untuk mencabut semua izin perusahaan-perusahaan baik Peruahaan swasta maupun perusahaan milik negara yang telah mengantongi izin usaha pariwisata di dalam kawasan TN Komodo. Bagi kami, selain membahayakan konservasi, kehadiran perusahaan-perusahaan ini juga menciptakan monopoli bisnis pariwisata di kawasan TN Komodo yang meminggirkan warga lokal.

Ketiga, Kami mendorong Pemerintah untuk menghentikan wacana liar dan serampangan dalam mengelola TN Komodo yang cenderung merugikan konservasi dan masyarakat lokal. Sebaliknya, berkali-kali kami tegaskan, sudah saatnya Pemerintah duduk bersama untuk mengevaluasi segala bentuk rancangan pembangunan atas TN Komodo serta membuka semua informasi kepada publik.

Keempat, Jika mendorong konservasi di TN Komodo serta menciptakan kesejahteraan bagi warga lokal, kami mendesak Pemeirntah untuk mengalokasikan anggaran yang besar untuk mendorong kinerja BTNK sebagai penjaga konservasi serta mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pelaku aktif konservasi dan wisata komunitas. *(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *