Ciamis Jawa-Barat TransTV45.com||Saat ini pembangunan desa menjadi salah satu prioritas pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam nawacita ketiga yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Sejak bergulir pada tahun 2015 lalu hingga tahun 2021, sebanyak 400,1 triliun dana desa mengalir ke 74.957 desa. Tujuannya mengurangi jumlah warga miskin, mengurangi kesenjangan antara kota dan desa serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Dalam kenyataannya, dana desa yang berlimpah tersebut rawan korupsi. Tata kelola dana desa belum sepenuhnya bebas dari korupsi. Tren korupsi kian meningkat dari tahun ke tahun. Praktek korupsi perangkat desa menempati urutan ketiga tertinggi setelah ASN dan swasta. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak tahun 2015-2020 sebanyak 676 terdakwa kasus korupsi berasal dari perangkat desa. Semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi. Dari segi pelaku, kepala desa adalah yang terbanyak menjadi pelaku korupsi. Area yang rawan antara lain saat perencanaan dan pencairan.
Penyebab korupsi dana desa adalah karena minimnya kompetensi aparat desa, tidak adanya transparansi dan kurangnya pengawasan pemerintah dan masyarakat serta adanya intervensi atasan dalam pelaksanaan kegiatan fisik yang tak sesuai perencanaan.
Data menunjukan pengelolaan dana desa merupakan salah satu substansi keluhan yang paling dominan disampaikan masyarakat setiap tahun. Karena itu perlu dicarikan jalan keluarnya bersama-sama agar substansi keluhan yang sama tidak terus berulang setiap tahun. Jika substansi yang sama terus berulang setiap tahun, artinya pemerintah kita dianggap melakukan pembiaran tanpa mencari upaya konkret.
Di sisi lain kadang masyarakat tidak peduli Dengan pengelolaan dana desa yang rawan penyelewengan tersebut. Sehingga aparatur pemerintah Desa Merasa tak di awasi dan sewenang-wenang dalam tata kelola dana desa ini
Maka sangat lah penting partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam mengawasi pengelolaan dana desa ini.
Oleh karena desa menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bertujuan melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan publik dan kesejahteraan umum, maka masyarakat berhak mengawasi pelayanan publik di desa termasuk pengelolaan keuangan desa. Pengawasan masyarakat terhadap pengelolaan dana desa dapat dilakukan dalam bentuk meminta informasi terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan lampirannya serta dapat pula melakukan pengawasan terhadap perencanaan dan kualitas proyek-proyek yang dikerjakan dengan menggunakan dana desa, baik secara perorangan maupun melalui Badan Perwakilan Desa (BPD).
Pengawasan seperti itu hendaknya tidak dianggap sebagai penghambat pembangunan desa. Karena hakekat pengawasan adalah dalam rangka perbaikan pelayanan pada masyarakat dan lebih dari itu adalah agar pemerintah desa dipercaya masyarakat. Karena itu para kepala desa diharapkan tidak alergi terhadap pengawasan dana desa oleh warga apalagi kemudian berupaya membalas pengawasan warga tersebut dengan tidak melayani atau tindakan lain yang tidak dibenarkan undang-undang.
Desa wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada masyarakat. Masyarakat Desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Dalam melaksanakan tugas, kepala desa berkewajiban melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, serta memberikan informasi kepada masyarakat desa sebagaimana diatur Pasal 26 Ayat (4) huruf (f) dan (p).
Untuk menghindari serta meminimalisir penyelewengan dan penyalahgunaan dari pengelolaan dana desa
Berikut ini beberapa saran terkait pengawasan dana desa antara lain pertama, optimalisasi pengawasan internal oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Kedua, pendampingan oleh bagian organisasi Sekda terhadap pemerintah desa dalam bentuk fasilitasi penyusunan standar pelayanan publik dan SOP. Ketiga, memfasilitasi pemerintah desa agar membentuk Unit Pengaduan Pelayanan Publik (UP3) desa. Warga desa boleh menyampaikan komplain terkait penyelenggaraan pemerintahan desa melalui unit tersebut agar segera ditangani pemerintah desa. Keempat, optimalisasi pendampingan terhadap pemerintah desa dalam pengelolaan keuangan dan aset desa. Kelima, optimalisasi penguatan kapasitas pengawasan oleh BPD dan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan oleh aparatur desa.
Dengan tawaran solusi tersebut, kita berharap dana desa dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat desa berupa peningkatan kualitas hidup, peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan serta peningkatan pelayanan publik di tingkat desa.
Said sadole alpabuarani