Pekanbaru Riau, TransTV45.com ||Gerakan Lawan Mafia Tanah (GERLAMATA) menanggapi soal pemutihan atau pengampunan 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan.
Ketua umum Gerlamata Muhamad Ridwan meminta Luhut Binsar Pandjaitan selaku Ketua Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara agar tidak memberi ruang sedikitpun kepada para Mafia Tanah. Ridwan mengatakan bahwa Gerlamata saat ini bersama masyarakat suku asli Suku Sakai Rantau Bertuah dan masyarakat Desa Kota Garo berkonsentrasi penuh mengawal persoalan ” Penggelapan tanah Kelompok Tani oleh para Mafia Tanah seluas 2500 H ini”.
Sebagaimana diketahui terkait persoalan Penggelapan tanah Kelompok Tani oleh para Mafia Tanah seluas 2500 Ha di Desa Kota Garo Kec. Tapung Hilir, Kab. Kampar ini Kantor Staf Presiden (KSP) pada tanggal 23 Mei 2023 melalui Kepala Deputi II Abednego Tarigan yang membidangi penyelesaian masalah agraria dan penyelesaian masalah program prioritas nasional telah menyurati Kapolda Riau, Kepala Kantor ATR/BPN Riau hingga Bupati Kampar sebagai bentuk tindak lanjut dari pengaduan masyarakat kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. H. Jokowi Dodo.
Gerlamata sudah mengetahui sejak 4 April 2023 lalu melalui Ir. Muhammad Said, MM. Direktur Penanganan Konflik Tenurial Dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( LHK ) bahwa kedudukan dan status lahan 2500 Ha yang saat ini dikuasai oleh Ationg, Ateng, Edy Kurniawan, dan Haji Manik tersebut masuk dalam daftar kegiatan usaha yang telah terbangun di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan pada Surat Keputusan ( SK ) Mentri LHK Ibu Siti Nurbaya Bakar, selanjutnya para pihak yang saat ini menguasai lahan 2500 Ha tersebut menurut Ir. Muhammad Said, MM. mereka
mengikuti skema kebijakan penerapan denda administrasi dalam kasus penguasaan hutan ilegal yang diatur dalam pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja.
Dan bahkan Ir. Muhammad Said, MM. Direktur Penanganan Konflik Tenurial Dan Hutan Adat Kementerian LHK pada waktu itu berjanji akan segera meneruskan informasi dan persoalan ini kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LHK bahwa ada persoalan Mafia Tanah pada hamparan 2500 Ha.
Atas dasar itulah kami Gerlamata memiliki kepentingan memastikan mereka para pihak yang sedang menguasai fisik lahan seluas 2500 Hektar tersebut sebagai ( subjek hukum ) pelaku kegiatan usaha yang telah terbangun di kawasan hutan tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan untuk ” Tidak Mendapatkan Pengampunan ” keterlanjuran dari Pemerintah atau Negara.
Jika kemudian setiap kegiatan usaha yang sudah terbangun di wilayah hutan tanpa izin bisa dengan mudah mengajukan pelepasan atau pemutihan dengan penanganan berdasarkan Pasal 110A dan 110 Undang-undang Cipta Kerja, cukup dengan membayar denda administratif perusahaan yang memiliki lahan sawit di kawasan hutan tersebut menjadi legal asalkan menyetor pajak sesuai yang diatur dalam UU Cipta Kerja. GERLAMATA memiliki kekhawatiran yang begitu besar; bahwa praktik mafia tanah memanfaatkan kebijakan Negara melalui Pasal 110 A dan B UUCK. Keterpaksaan pemerintah memberikan pelepasan atau memutihkan kawasan dengan syarat justru memberi ruang gerak mafia tanah semakin merajalela untuk melancarkan aksi menguasai tanah yang bukan miliknya.
Pasal 110 A dan B UUCK sangat berpotensi kuat akan dimanfaatkan oleh para Mafia Tanah dalam mendapatkan legitimasi Negara dengan hanya membayar denda, dan membayar denda bukanlah suatu hal yang sulit bagi para Mafia Tanah. Muhammad Ridwan menyampaikan bahwa persoalan terbesar rakyat kita sekarang ini adalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi yang kian melebar dan hal ini terkait erat dengan penguasaan aset/sumber daya, sarana produksi, dan proses distribusi keuntungan/kemakmuran. Artinya, jika aset/sumber daya, sarana produksi seperti tanah dan distribusi kekayaan dikendalikan oleh segelintir tangan yang dibiarkan bebas, maka kekayaan hanya akan menumpuk di segelintir tangan itu.
Aktivis pejuang agraria itu meminta Satgas mengidentifikasi setiap subjek hukum seperti korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah sebagai pelaku pengusaha hutan ilegal (tanpa izin) yang mengajukan pelepasan atau pemutihan mendapatkan pengampunan perlu diperiksa lebih jauh dari seluruh aspek untuk memastikan bahwa kegiatan usaha tersebut berkonflik atau tidak dengan masyarakat, mengingat tegas Riduan konflik agraria masih terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun, dan di bumi lancang kuning ini menjadi daerah dengan kerawanan konflik tertinggi dengan 29 kasus sepanjang 2020 bahkan timpal Riduan pada rapat koordinasi tim penanganan konflik sosial se Provinsi Riau jelasnya Kesbangpol Provinsi Riau Jenri Salmon Ginting menyebutkan 90 persen konflik pertanahan terjadi di Provinsi Riau.Pungkas Ridwan **ADL