Talaud- TransTV45.com|| Ketegangan dalam proses perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Talaud telah menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Permasalahan ini muncul ketika ada sanggahan dari fraksi PDIP mengenai beberapa poin yang dianggap tidak sesuai dengan Permendagri No. 84. Evaluasi APBD perubahan Kabupaten Talaud juga mengalami hambatan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan hingga saat ini belum mendapat persetujuan. Semua ini mengundang pertanyaan tentang apakah substansi evaluasi yang seharusnya objektif dan rasional telah bergeser menjadi politisasi birokrasi, dengan aspek kekuasaan dan kepentingan subjektif mendominasi proses evaluasi.
Menurut pengamat politik, Dr. Maxi Egeten, yang juga merupakan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) perubahan APBD seharusnya berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam aturan. Ini termasuk persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pengiriman ke Gubernur dalam waktu yang telah ditentukan.
Dalam konteks ini, Dr. Maxi Egeten menekankan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2019 Pasal 181 Ayat 4, evaluasi APBD perubahan seharusnya hanya untuk menguji kesesuaian dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum, perubahan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Penjabaran Program dan Anggaran Sementara (PPAS), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Selain itu, kewenangan Gubernur dalam hal ini mencakup pengambilan keputusan dalam waktu paling lambat 15 hari setelah Ranperda perubahan APBD diterima. Namun, hingga saat ini keputusan tersebut belum dikeluarkan, dan pengamat ini menyoroti bahwa keterlambatan ini dapat dituduhkan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
Dr. Maxi Egeten juga mengungkapkan bahwa jika terdapat masalah dalam APBD perubahan, seharusnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memberikan bimbingan dan pembinaan, bukan menghambat proses ini. Terutama mengingat kemungkinan adanya Peraturan Daerah (Perda) yang dapat mengambil alih proses ini jika disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri.
Kesimpulannya, ada perbedaan dalam penanganan perubahan APBD di berbagai daerah, dan penting untuk menjaga keselarasan hubungan antara pemerintah provinsi dan daerah. Masyarakat Talaud seharusnya tidak mengalami penderitaan akibat ketidakpastian ini, dan politisasi birokrasi seharusnya dihindari. Yang paling penting, kepentingan masyarakat harus selalu menjadi yang terutama dalam proses ini. Semoga masalah ini segera terselesaikan untuk menciptakan harmonisasi dalam pemerintahan antara pemerintah provinsi dan daerah.
red