Palu||TrensTV45.com|| Serikat petani Petasia timur meminta Pemprov Transparan, berdasarkan surat gubernur Sulawesi Tengah Nomor:500.801./235/Ro.Hukum melepaskan 282,74 Hektare (Ha) Lahan PT.ANA untuk di kembalikan kepada petani di desa Bunta, kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara (Morut),Jumat(3/5)lalu.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 138 PPU 2015 dan UU No 39 tentang perkebunan dan pasal 114 Sebut dia, Perusahaan belum memiliki HGU melakukan penyesuaian,Jika selma 2 tahun tidak melaksanakan penyesuaian,maka aktifitasnya dinilai ilegal.
Merespon Hal tersebut,Aktivitas agraria Eva bande menilai penyelesaian konflik agraria antara Masyarakat dan PT.ANA tidak berkeadilan dan amburadul.
Ia menjelaskan,genderang perjuangan melawan PT ANA ditabuh sejak adanya laporan Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng Oktober 2021, dari situlah Pemprov membentuk tim untuk penyelesaian konflik.
“Saya sangat menyayangkan proses berlangsung dalam langkah tahapan penyelesaian konflik,”kata Koordinator FRAS Sulteng Eva Bande saat konferensi pers Serikat Petani Petasia Timur – Sulteng di Ebe Coffe Shop, Jalan Lapata, Desa Kalukubula, Kabupaten Sigi, Kamis (9/5).
Ia menuturkan, Mestinya proses pemeriksaan terang Benderang, perusahaan tersebut tidak memiliki izin HGU
Selanjutnya kata dia, kembalikan semua hak petani sesuai data pihaknya masukkan data subjek maupun objek sejak 11 September 2023. Luasan lahan 740 ha dengan jumlah 370 KK tersebar di empat desa, yakni Desa Tompira, Desa Bunta, Desa Bungintimbe dan Desa Towara.Semua diberikan haknya tanpa kompromi
Kemudian kata dia, ada ruang lingkup korupsi , bila perusahan tidak memiliki HGU pasti tidak membayar pajak.
Ketua Serikat Petani Petasia Timur (SPPT) Ambo Enre menyangkan proses penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dan PT ANA tidak transparan dan partisipatif ,sebab tidak pernah dilibatkan.
Padahal kata dia, pemprov dalam pembentukkan tim re verivikasi dan re validasi didalamnya ada SPPT dan FRAS sebagai pengawas.
“Intinya proses re verivikasi dan re validasi tidak pernah kami tahu dan secara tegas saya menolak semua proses re verivikasi dan re validasi dilakukan oleh Kades, Pemda Morut serta Pemprov Sulteng,”tegasnya.
Bahkan sebut dia, lahan anggota serikat Petasia ada pengurangan dari harusnya 2 hektare hanya mendapatkan 1,25 hektare,khususnya desa Bunta.
Olehnya kata dia,pihaknya mendesak tim pemerintah lebih transparan dan partisipatif serta berpihak pada masyarakat dalam proses penyelesaian bagi desa diantaranya Bungintimbe,Tompira,Towara.
Lalu apakah kata dia, kita berkompromi dengan perusahaan sawit beroperasi sejak 2007 hingga hari ini tidak mengantongi izin.
Ia juga menyesalkan Pemprov meminta kepada BPN untuk menerbitkan hak guna usaha (HGU) PT ANA.Sementara regulasi berlaku HGU dulu baru beroperasi,bukan beroperasi baru HGU belakangan.
Ambo Tang menilai salahsatu poin kesepakatan isinya unsur pemerintah tidak lagi memediasi,jika ada klaimer masyarakat, lalu kalau ada masyarakat punya keluhan pemerintah tidak mau mediasi bagaiman nasib masyarakat.
Perwakilan masyarakat Towara Arif meminta ada keterbukaan informasi kepada seluruh pemerintah desa Petasia Timur dalam melakukan verivikasi dan validasi.
“Kami inginkan supaya ada keterbukaan informasi kepada seluruh pemerintah desa ada diwilayahb Petasia Timur, sebab dari Pemdes Towara tidak pernah memasukan mengusulkan lahan-lahan masyarakat Towara lalu gimana kedepannya,”imbuhnya.
Di konfirmasi terpisah Humas PT Astra Prasetyo Edho Wibowo belum memberikan respon.
Tenaga ahli Gubernur Sulteng menjadi mediator dalam konflik agraria masyarakat dan PT ANA Ridha Saleh menjelaskan ,terkait re verivikasi dan re validasi dilaksanakan di desa secara berjenjang dan menurut informasi kades semua pihak diundang serta dilibatkan, termasuk pemilik lahan.
“Dan dalam mediasi Ambo Enre hadir mewakili salahsatu kelompok dan menyepakati beberapa hal,”kata Edang sapaan akrabnya,saat di konfirmasi Jumat (10/5).
Ia mengatakan, kritikan disampaikan FRAS hal baik sebagai masukkan untuk penyelesaian bagi desa lainnya.
“Kami ucapkan terimakasih kepada FRAS sudah memberikan masukkan,dalam upaya penyelesaian secara sungguh-sungguh masalah berlangsung belasan tahun,”katanya.
Olehnya ia meminta pada FRAS memberikan data-data ada dalam sengketa ,sebab selalu ada klarifikasi dari desa hingga membuat kita kesulitan mengambil keputusan.
Ia juga meminta kepada FRAS menyampaikan fakta-fakta telah dilakukan pemerintah selama ini misalnya apakah pemerintah benar-benar lepas tangan, dalam penyelesaian tersebut.
“Kami bekerja, diamkan atau abaikan gitu loh,”katanya.
Ia mengakui ,kalau PT ANA tidak miliki HGU dan ilegal, tapi sudah ada kebun inti dan plasma,kita dorong dikembalikan kepada masyarakat.
Dan selebihnya diminta ke PT ANA untuk dilegalkan, sebab selama ini mereka mendapat izin perpanjangan pemanfaatan lahan dari Pemerintah Kabupaten setempat.
“HGU belum bisa diterbitkan, sebab pemanfaatan lahan digunakan belum clear and clean,”imbuhnya.
Lalu apakah kata dia, kita berkompromi dengan perusahaan sawit beroperasi sejak 2007 hingga hari ini tidak mengantongi izin.
Ia juga menyesalkan Pemprov meminta kepada BPN untuk menerbitkan hak guna usaha (HGU) PT ANA.Sementara regulasi berlaku HGU dulu baru beroperasi,bukan beroperasi baru HGU belakangan.
Ambo Tang menilai salahsatu poin kesepakatan isinya unsur pemerintah tidak lagi memediasi,jika ada klaimer masyarakat, lalu kalau ada masyarakat punya keluhan pemerintah tidak mau mediasi bagaiman nasib masyarakat.
Perwakilan masyarakat Towara Arif meminta ada keterbukaan informasi kepada seluruh pemerintah desa Petasia Timur dalam melakukan verivikasi dan validasi.
“Kami inginkan supaya ada keterbukaan informasi kepada seluruh pemerintah desa ada diwilayahb Petasia Timur, sebab dari Pemdes Towara tidak pernah memasukan mengusulkan lahan-lahan masyarakat Towara lalu gimana kedepannya,”imbuhnya.
Di konfirmasi terpisah Humas PT Astra Prasetyo Edho Wibowo belum memberikan respon.
Tenaga ahli Gubernur Sulteng menjadi mediator dalam konflik agraria masyarakat dan PT ANA Ridha Saleh menjelaskan ,terkait re verivikasi dan re validasi dilaksanakan di desa secara berjenjang dan menurut informasi kades semua pihak diundang serta dilibatkan, termasuk pemilik lahan.
“Dan dalam mediasi Ambo Enre hadir mewakili salahsatu kelompok dan menyepakati beberapa hal,”kata Edang sapaan akrabnya,saat di konfirmasi Jumat (10/5).
Ia mengatakan, kritikan disampaikan FRAS hal baik sebagai masukkan untuk penyelesaian bagi desa lainnya.
“Kami ucapkan terimakasih kepada FRAS sudah memberikan masukkan,dalam upaya penyelesaian secara sungguh-sungguh masalah berlangsung belasan tahun,”katanya.
Olehnya ia meminta pada FRAS memberikan data-data ada dalam sengketa ,sebab selalu ada klarifikasi dari desa hingga membuat kita kesulitan mengambil keputusan.
Ia juga meminta kepada FRAS menyampaikan fakta-fakta telah dilakukan pemerintah selama ini misalnya apakah pemerintah benar-benar lepas tangan, dalam penyelesaian tersebut.
“Kami bekerja, diamkan atau abaikan gitu loh,”katanya.
Ia mengakui ,kalau PT ANA tidak miliki HGU dan ilegal, tapi sudah ada kebun inti dan plasma,kita dorong dikembalikan kepada masyarakat.
“HGU belum bisa diterbitkan, sebab pemanfaatan lahan digunakan belum clear and clean,”imbuhnya.
Dan selebihnya diminta ke PT ANA untuk dilegalkan, sebab selama ini mereka mendapat izin perpanjangan pemanfaatan lahan dari Pemerintah Kabupaten setempat.
Rut Yohanes