Polda Kalbar dan LBH Herman Hofi Tinjau Sengketa Lahan 21 Tahun di Kubu Raya, Diduga Libatkan Mafia Tanah

Berita16 Dilihat

Kubu Raya, Kalimantan Barat – TransTV45.|| 18 Juli 2025 Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kalimantan Barat bersama tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Herman Hofi Law melakukan peninjauan langsung ke lokasi sengketa tanah di Jalan Wonodadi 2, Desa Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, pada Jumat sore (18/7). Peninjauan ini dilakukan menyusul laporan dugaan penyerobotan tanah milik Hj. Nursiah dan Sabran, yang telah dikuasai keluarga mereka selama lebih dari dua dekade.

H. Ibrahim, suami Hj. Nursiah, menjelaskan bahwa tanah seluas beberapa ribu meter persegi itu telah dikelola keluarganya sejak 2004, dengan dasar Surat Pernyataan Tanah (SPT) atas nama istrinya. Di atas lahan tersebut telah ditanami kelapa sawit, karet, dan terdapat bangunan pondok yang berdiri permanen.

“Selama 21 tahun kami kuasai tanpa sengketa. Baru pada 2024 muncul pihak yang memagar tanpa izin dan tanpa membayar sepeser pun,” kata H. Ibrahim di lokasi.

Menurutnya, mediasi sempat dilakukan pada tahun lalu di Balai Desa Limbung. Saat itu, pihak yang mengklaim disebut telah sepakat untuk membayar Rp150 ribu per meter, namun tidak ada tindak lanjut. Sebaliknya, pagar tetap berdiri dan keluarga H. Ibrahim justru dilaporkan ke Polres Kubu Raya.

Direktur LBH Herman Hofi Law, Dr. Herman Hofi Munawar, yang turut mendampingi warga, menilai ada kejanggalan dalam klaim sepihak atas tanah yang sudah lama dikuasai oleh warga. Ia menduga ada praktik mafia tanah yang melibatkan penggunaan sertifikat bermasalah sebagai dasar klaim.

“Kami meminta penyidik untuk menyita dan memeriksa warkah tanah serta mengusut asal-usul terbitnya sertifikat tersebut. Ini menyangkut keadilan bagi warga kecil yang tiba-tiba terancam terusir dari tanahnya sendiri,” ujar Dr. Herman.

Ia menambahkan, kasus ini berpotensi melibatkan pelanggaran serius, termasuk pemalsuan akta otentik, penyalahgunaan kekuasaan, dan dugaan kriminalisasi terhadap pemilik sah lahan.

Eduart alias Pak Edo, salah satu saksi dari keluarga Sabran, menyatakan bahwa ia dan keluarganya telah tinggal di lokasi itu sejak lebih dari 25 tahun lalu. Ia menyebut jalan akses menuju lahan bahkan dibangun secara swadaya oleh warga setempat, jauh sebelum adanya klaim dari pihak lain.

“Kami yang bangun jalan ini saat masih berupa tanah gambut. Sekarang, tanah kami malah diklaim tanpa kompromi. Kami yang merasa dirugikan malah dilaporkan ke polisi. Ini tidak adil,” tegas Edo.

Warga berharap kehadiran tim penyidik dan pendamping hukum dapat membuka jalan bagi penyelesaian yang adil. Mereka mendesak Polda Kalbar untuk mengusut tuntas kasus ini, termasuk memeriksa keabsahan seluruh dokumen yang digunakan oleh pihak yang mengklaim.

“Jangan biarkan rakyat kecil dikorbankan oleh kekuatan uang. Kami hanya ingin hak kami kembali,” ujar Sabran, salah satu pihak pelapor.

Pihak Polda Kalbar belum memberikan pernyataan resmi terkait hasil tinjauan tersebut, namun proses penyelidikan dipastikan masih berlangsung. Kasus ini menambah daftar panjang dugaan praktik mafia tanah yang terus menjadi ancaman bagi warga yang lemah secara ekonomi dan hukum.||Jurnalis:Suparman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *