Membedah Wacana Amandemen UUD 1945: Antara Kebutuhan Zaman dan Kekeramatan Konstitusi

Breaking News1753 Dilihat

Dr. Egar Mahesa, SH., MH., C.DM., C.Med., CPArb. (Ketua Umum Lembaga Pemerhati Khusus Nasional dan Praktisi Hukum)

Palu-TransTV45.Com//Seminar Konstitusi yang digelar oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada tanggal 21 Agustus 2025 kembali membuka dialektika panjang mengenai kelayakan dan urgensi amandemen kelima terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Sebagai lembaga yang diberi mandat konstitusional untuk mengubah UUD, MPR melalui Ketuanya, H. Ahmad Muzani, menyatakan komitmen untuk mendengar segala aspirasi masyarakat.

Namun, dalam kerangka hukum dan historis, wacana amandemen ini harus ditinjau ulang secara mendalam. Pernyataan para ahli, seperti Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa UUD 1945 adalah buatan manusia yang tidak sempurna dan dapat diubah, adalah benar secara teoretis.

Namun, konteks historis-spiritual pembentukannya menjadikan UUD 1945 bukan sekadar produk hukum biasa, melainkan sebuah perjanjian luhur (covenant) para pendiri bangsa yang disusun dengan memohon petunjuk Allah SWT.

Pernyataan Presiden Soekarno pada 18 Agustus 1945 yang menyebut UUD 1945 sebagai konstitusi “sementara” dan “kilat” seringkali dikutip untuk melegitimasi amandemen.

Pernyataan tersebut harus dipahami dalam konteks daruratnya situasi pasca-Proklamasi. Soekarno sendiri, dalam pidatonya, menyebut proses pembuatan UUD tersebut sebagai pekerjaan yang “amat keramat”.

Istilah “sementara” adalah strategi politik untuk segera memenuhi syarat berdirinya sebuah negara, bukan sebuah undangan untuk mengubahnya secara fundamental di kemudian hari.

Esensi dari UUD 1945 yang asli tidak dapat dipahami hanya dari sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang singkat, melainkan harus ditelusuri hingga ke perdebatan mendalam dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pemikiran founding fathers seperti Mohammad Yamin, Soepomo, Soekarno, dan Mohammad Hatta dirangkum dengan sempurna dalam Pembukaan UUD 1945, yang menjadi roh dan dasar filosofis bernegara.

Amandemen yang telah dilakukan pada periode 1999-2002, meskipuun dimaksudkan untuk reformasi, pada praktiknya telah melakukan perubahan fundamental yang mirip dengan “kudeta konstitusi” yang dikamuflasekan. Beberapa poin kritisnya adalah:

1. Penghilangan Penjelasan UUD 1945 yang memuat penjelasan atas pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan.

2. Pengebornan Kedaulatan Rakyat dengan dihapuskannya utusan golongan dan utusan daerah, sehingga MPR tidak lagi benar-benar representasi seluruh lapisan rakyat.

3. Pergeseran dari Demokrasi Musyawarah ke Demokrasi Liberal dengan diterapkannya pemilihan langsung yang mengedepankan kedaulatan individu, bertentangan dengan semangat sila keempat Pancasila.

4. Degradasi Kedudukan MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi sekadar Lembaga Tinggi Negara, serta penghilangan hubungan mandataris dengan Presiden.

5. Penghapusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyebabkan arah pembangunan bangsa menjadi terkotak-kotak pada visi-misi presiden dan kepala daerah yang berubah-ubah setiap lima tahun.

6. Perubahan Nomenklatur dari “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI) menjadi “Negara Republik Indonesia” (NRI) dalam batang tubuh, yang melemahkan semangat kebangsaan.

Perubahan fundamental ini dilakukan tanpa dasar pasal yang jelas dalam UUD 1945 asli yang memberikan kewenangan untuk membubarkan karakter dasar negara. Para pengamandemen bukanlah pihak yang terikat pada “kesepakatan luhur” para pendiri bangsa tahun 1945.

Alih-alih menyempurnakan, yang terjadi adalah penjiplakan sistem presidensial liberal yang berlandaskan individualisme, yang justru asing bagi kepribadian bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, dalam menyambut 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia, sudah saatnya kita melakukan refleksi yang jernih. Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berarti kembali kepada roh dan jiwa UUD 1945 yang asli beserta Pancasila, zonder kompromi.

Setiap wacana amandemen baru harus dihentikan jika tidak didasari oleh naskah akademis yang kuat dan kesadaran untuk mengembalikan khittah konstitusi, bukan semakin menjauhkannya dari cita-cita founding fathers.

Tentang Penulis: Dr.Egar Mahesa, SH., MH., adalah seorang praktisi hukum, arbiter, dan Ketua Umum Lembaga Pemerhati Khusus Nasional yang aktif menyoroti isu-isu konstitusi dan kebangsaan.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *