
Sambas, TransTV45.com. : Kritik tajam Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Sitorus, mengenai kondisi perbatasan di Kabupaten Sambas memicu respons dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Sambas, Sunardi, yang menyatakan sepakat dan mendukung penuh peringatan keras tersebut.
Sunardi menilai pernyataan Deddy mencerminkan realitas yang selama ini dirasakan warga perbatasan, khususnya para buruh migran yang bekerja di negara tetangga tanpa perlindungan memadai.
“Pemerintah jangan main-main mengurus perbatasan. Wilayah ini sangat rawan penyelundupan orang dan barang. Apa yang disampaikan Pak Deddy itu benar adanya, dan sudah lama terjadi,” tegas Sunardi.
Sebelumnya, saat kunjungan kerja ke Sambas, Deddy Sitorus melontarkan kritik keras terhadap pemerintah pusat dan daerah. Ia menuding wilayah perbatasan telah dibiarkan berfungsi hanya sebagai pemasok buruh kasar untuk negara tetangga, sebuah situasi yang ia sebut sebagai bentuk “perbudakan modern”.
“Kalau seperti ini kondisinya, jangan-jangan kita sudah terbiasa melihat eksploitasi, lalu menganggapnya normal,” ujar Deddy.
Ia menilai kegagalan pemerintah dalam mengelola perbatasan bersifat sistemik. Akses ekonomi, pendidikan, hingga kesempatan kerja dinilai minim, sementara ketergantungan warga terhadap negeri tetangga semakin besar.
Deddy menyoroti ketiadaan industri lokal dan lambannya pembangunan infrastruktur sebagai penyebab utama banyaknya warga Sambas yang bekerja sebagai buruh murah di luar negeri. Menurutnya, kondisi ini terjadi bukan karena keterpaksaan ekonomi semata, tetapi juga akibat lambannya pemerintah menyediakan perlindungan dan pemberdayaan tenaga kerja migran.
“Negara seharusnya melindungi, bukan membiarkan rakyatnya menjadi korban model ekonomi yang menguntungkan pihak luar,” ujarnya.
Dalam kritiknya, Deddy juga menyinggung Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang dinilai gagal menjalankan program secara efektif. Ia menyebut banyak program pembangunan perbatasan hanya terlihat megah di atas kertas, tetapi tidak menjawab persoalan mendasar masyarakat.
“Kalau pembangunan hanya berupa proyek mercusuar tanpa lapangan kerja, itu menipu rakyat,” tegasnya.
Ia menambahkan, Pemkab Sambas harus lebih aktif membangun inisiatif lokal dan tidak hanya menunggu program pusat yang tak kunjung berdampak.
Menanggapi kritik tersebut, Ketua SBMI Sambas menegaskan bahwa perlindungan buruh migran masih jauh dari kata ideal. Banyak pekerja yang masuk ke negara tetangga tanpa prosedur resmi karena tidak adanya pilihan ekonomi di kampung halaman.
“Ketiadaan lapangan kerja membuat warga memilih jalur nekat. Ini risiko besar. Pemerintah wajib hadir, bukan hanya berbicara soal program,” kata Sunardi.
Ia mendesak pemerintah memperkuat pengawasan mobilitas warga, terutama di jalur-jalur rawan penyelundupan yang selama ini menjadi celah bagi praktik perdagangan orang.
Deddy juga menyoroti minimnya fasilitas pendidikan vokasi di wilayah perbatasan. Tanpa akses pelatihan kerja, generasi muda Sambas sulit meningkatkan kemampuan hingga hanya mampu bekerja sebagai buruh kasar.
“Kita membiarkan anak-anak muda tumbuh tanpa skill, lalu kita heran mengapa mereka menjadi buruh kasar. Ini kelalaian serius,” ujarnya.
Baik Deddy maupun SBMI menilai perbatasan harus menjadi prioritas pembangunan nasional, bukan sekadar simbol “beranda depan negara”. Mereka mendesak percepatan pembangunan ekonomi berbasis potensi lokal, pendirian Balai Latihan Kerja (BLK) perbatasan, serta peningkatan pengawasan keluar masuknya tenaga kerja.
Sunardi menambahkan, pemerintah harus mendengar suara warga perbatasan dan memastikan kebijakan benar-benar menyentuh kebutuhan mereka.
“Kami hanya ingin negara hadir sepenuhnya. Perbatasan bukan halaman belakang. Ini wajah Indonesia,” ujarnya.
Deddy menutup kritiknya dengan pernyataan tegas
“Jika perbatasan terus menjadi lumbung buruh murah, kita sedang menciptakan generasi yang kehilangan martabat. Dan itu adalah kesalahan negara.”
MULYONO




