
MUNA SULTRA Trenstv45.com Kebijakan Pemerintah Kabupaten Muna yang mengangkat hampir 7.000 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu menuai sorotan tajam publik. Sorotan itu mencuat setelah Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang memuat gaji dan tunjangan sebesar Rp0 (nol rupiah) beredar luas dan viral di media sosial.
Dalam surat tersebut, para PPPK diminta menyatakan kesediaan bekerja tanpa menerima gaji serta tidak menuntut hak tersebut di kemudian hari. Kebijakan ini dinilai janggal, tidak manusiawi, dan berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, baik di bidang kepegawaian maupun pengelolaan keuangan negara.
“Bagaimana mungkin seseorang diangkat sebagai pegawai pemerintah, diwajibkan bekerja dan tunduk pada aturan ASN, tetapi sejak awal sudah dinyatakan tidak digaji?” ujar Hasidi Pemuda, pemerhati hukum dan kebijakan publik, saat dimintai tanggapan, Minggu (28/12/ 2025).

*Pengangkatan Tanpa Anggaran, Melompati Aturan*
Hasidi menegaskan, dalam sistem pemerintahan, pengangkatan PPPK tidak boleh dilakukan tanpa kesiapan anggaran. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, yang menyatakan bahwa usulan kebutuhan PPPK harus didasarkan pada analisis jabatan, analisis beban kerja, serta ketersediaan anggaran.
Namun, fakta di Muna menunjukkan sebaliknya. Pemerintah daerah tetap melakukan pengangkatan meskipun tidak memiliki alokasi anggaran penggajian, lalu “mengamankan” kebijakan tersebut dengan mewajibkan PPPK menandatangani SPTJM bermuatan gaji nol rupiah.
“Ini bukan solusi hukum, tapi pengakuan tertulis bahwa Pemda mengangkat pegawai tanpa kesiapan anggaran. Risiko fiskal negara justru dialihkan kepada individu PPPK,” kata Hasidi.
Praktik tersebut dinilai tidak dikenal dalam sistem hukum kepegawaian Indonesia dan menunjukkan cacat serius dalam perencanaan kebijakan.
*Hak PPPK Dijamin Undang-Undang*
Hasidi menekankan bahwa hak PPPK atas penghasilan bukan kebijakan opsional, melainkan hak normatif yang dijamin undang-undang.
Dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, ditegaskan bahwa:
“PPPK berhak memperoleh penghasilan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Selain itu, Pasal 100 ayat (1) PP Nomor 49 Tahun 2018 juga menyatakan bahwa PPPK berhak memperoleh gaji dan tunjangan. Tidak ada satu pun regulasi yang membenarkan konsep PPPK termasuk PPPK paruh waktu bekerja tanpa gaji.
“Status paruh waktu hanya berpengaruh pada jam kerja dan besaran penghasilan yang bersifat proporsional, bukan menghapus hak gaji sama sekali,” tegas Hasidi.
Dengan demikian, SPTJM yang memuat gaji Rp0 dinilai bertentangan langsung dengan undang-undang dan berpotensi batal demi hukum.
*Diduga Melanggar Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara*
Kebijakan tersebut juga dinilai melanggar prinsip pengelolaan keuangan negara. Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat aturan, efektif, dan bertanggung jawab.
Sementara itu, Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa setiap pengeluaran negara harus didukung anggaran yang tersedia.
Menurut Hasidi, Pengangkatan PPPK tanpa kesiapan anggaran menunjukkan adanya cacat perencanaan APBD dan pelanggaran terhadap siklus penganggaran daerah, mulai dari RKPD, KUA–PPAS, hingga APBD.
*SPTJM Dinilai Sebagai Alat Paksaan Administratif*
Lebih lanjut, SPTJM gaji nol rupiah dinilai bukan sekadar dokumen administratif, melainkan alat paksaan administratif yang berpotensi melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang dan wajib menjamin kepastian hukum serta kecermatan dalam setiap kebijakan.
“Hak yang dijamin undang-undang tidak bisa dinegosiasikan melalui surat pernyataan. Negara tidak boleh mengunci pelanggarannya sendiri dengan SPTJM,” ujar Hasidi.
*Ancaman Penurunan Kinerja dan Masalah Sosial*
Kebijakan PPPK tanpa gaji dikhawatirkan berdampak serius terhadap kualitas pelayanan publik. Bekerja tanpa kepastian penghasilan berpotensi memicu:
1. Penurunan kinerja aparatur
2. Konflik sosial
3. Praktik kerja formalitas semata
4. Hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah
Ironisnya, PPPK justru dibutuhkan untuk memperkuat layanan pendidikan dan sektor publik lainnya.
*Berpotensi Dilaporkan ke Ombudsman dan Pemerintah Pusat*
Hasidi menyebut kebijakan ini layak dilaporkan ke Ombudsman RI sebagai dugaan maladministrasi, serta ke Kementerian Dalam Negeri dan KemenPAN-RB karena menyimpang dari kebijakan nasional pengelolaan ASN.
“Jika terbukti melanggar, pejabat terkait berpotensi dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pemberhentian dari jabatan”.
Pengangkatan PPPK tanpa gaji bukan sekadar soal angka nol rupiah, melainkan menyangkut martabat negara, kepastian hukum, dan keadilan sosial. Pemerintah tidak boleh hadir sebagai pemberi kerja yang mengingkari kewajiban dasarnya sendiri,” ucapnya.
Laode Ramuli




