Jakarta-Transtv45.com– Pemerintah akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok dan juga barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
Selain itu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga menyatakan bahwa pendidikan tertentu akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Hal ini tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin melalui keterangan resminya Senin (14/6/2021) memberikan reaksi.
“Kita memahami bahwa Pemerintah sedang membutuhkan peningkatan sumber pendapatan ditengah tekanan Pandemi, salah satunya melalui pemberlakuan pajak. Walaupun kebijakan ini tidak populer, tapi ini salah satu jalan yang mesti dilakukan pemerintah”, ujar Sultan.
Sultan juga berkeyakinan bahwa benar bahwa pemerintah kita tidak bisa terus menerus menarik hutang, oleh karena itu seluruh potensi dalam peningkatan sumber pendapatan negara mesti digerek. Terutama disektor pajak yang selama ini berkontribusi 70% terhadap total goverment revenues.
Hal ini diperkuat oleh pendapat pengamat Ekonomi Munir A Sara, bahwa UU No 13 Th 2003, ratio hutang sehat atau threshold aman itu 60% terhadap PDB. Tapi rasio utang 60% ini sudah direvisi IMF. Juga jadi debatable. Rasio 60% adalah untuk negara-negara maju atau high income dengan gross national income/GNI perkapita > US$ 12.535.
Untuk negara middle income atau upper middle, rasio utang yang sehat adalah 45% terhadap PDB. Dengan posisi ratio utang Indonesia sebesar 42% terhadap PDB, maka sejatinya RI sudah di tubir threshold yang tidak aman.
“Pemerintah tidak bisa lagi berharap sumber keuangan berasal dari hutang. Potensi pajak mesti dioptimalkan. Dan bukan hanya menaikkan saja atau menyasar disektor tertentu. Persoalan potensi pajak selama ini yang belum tergarap secara baik harus dibereskan”, tegas Sultan.
Selain itu Munir juga menambahkan banyak masalah disektor pajak berikut varian turunan masalah tersebut. Termasuk tingkat penghindaran pajak yang tinggi di Indonesia. Data OECD, penghindaran pajak orang kaya RI menyentuh -+ Rp.4 ribu triliun.
Data Dirjen pajak juga -+ Rp.4 ribuan triliun, tambah Munir. Dari Rp.4 ribuan triliun itu yang repatriasi Rp 147 triliun. Adapun jumlah uang tebusan mencapai Rp 114 triliun. Meski banyak perdebatannya, baleid tax amnesty II sudah dipersiapkan lagi.
“Defisit APBN dan pembiayaan/utang adalah konsekuensi dari ekspansi fiskal. Tentu pemerintah tak mungkin menekan belanjanya. Yang dilakukan cuma realokasi dan defocusing. Dus, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi meniscayakan terkereknya pembiayaan belanja”, ungkap Munir.
“Kita pada prinsipnya sangat mendukung langkah Menkeu, cuma tetap mesti pertimbangkan dampak terhadap kelompok rentan (miskin). Mungkin bisa dilakukan bertahap. Jangan sampai jika diterapkan dalam kondisi ekonomi yang sedang lemah akan menimbulkan inflasi ditengah tekanan Pandemi saat ini dan justru menambah angka kemiskinan di Indonesia”, tutup Sultan. (Red)