Oleh: Sil Joni
Rubrik atau kolom ‘editorial’ sebuah media, baik media cetak (konvensional) maupun media dalam jaringan (daring), sebenarnya sangat ‘ditunggu-tunggu’ oleh sebagian publik pembaca. Kolom Tajuk Rencana koran Kompas misalnya, menjadi salah satu yang ‘diburu’ ketika membaca koran tersebut.
Sikap resmi media sebagai sebuah ‘institusi pers’ dalam merespons sebuah peristiwa aktual, terbaca secara gamblang dalam kolom editorial itu. Publik akan mengetahui apakah sebuah media itu secara konsisten merawat independensi dan idealismenya sebagai ‘pengeras suara publik atau media itu berafiliasi dengan salah satu blok ideologi politik tertentu, hanya dengan membaca konten editorialnya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa media massa sebagai sebuah institusi penerbitan mempunyai kemampuan untuk membentuk opini publik. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan.
Rizal Mallarangeng (2010: 14) menulis bahwa tajuk (editorial) dengan tenang berusaha memberikan pengertian-pengertian yang mendalam dan merekonstruksi realitas agar memadai bagi proses pengambilan sikap pembacanya.
Pendapat ini telah dipertegas oleh pendapat Frazer Bond yang mengatakan: “Penulis tajuk berpikir mendalam untuk memilih kata-kata; dia menulis dengan penuh otoritas, dan dengan cara ini dia cenderung meniadakan pengaruh reportase yang terlalu tergesa dan serampangan… dia menghiasi tulisannya dengan kutipan-kutipan yang cerdas…, dan dia meluangkan waktu beberapa saat untuk memeriksa dan membenahinya dengan hati-hati. Hasilnya, tulisan sering kali mencapai bentuk prosa kontemporer yang sekaligus anggun, kuat, cerdas, dan berpengaruh” (dalam Mallarangeng, 2010: 14-15).
Umumnya, tulisan yang dimuat dalam kolom ‘editorial’ itu sangat berbobot. Tidak semua ‘jurnalis’ mempunyai kemampuan dan dipercayakan untuk menulis pada rubrik opini media itu. Hanya jurnalis dengan reputasi dan debut jurnalisme yang tak diragukan lagi yang ‘diberi izin’ untuk mengisi ruang itu.
Saking kuatnya pengaruh anggapan soal ‘mutu tulisan dalam kolom editorial’ itu, saya selalu merasa rindu untuk membaca ‘editorial’ sejumlah media dalam jaringan (daring) yang berserakan dalam ruang digital saat ini. Namun, hingga detik ini, rasa rindu itu belum pernah terpuaskan.
Saya ‘gagal’ (?) mengakses link yang berisi tulisan editorial dari beberapa media daring tersebut. Boleh jadi, ini akibat dari ‘keterbatasan’ kecakapan dalam menggauli perangkat teknologi digital. Masalahnya adalah link atau portal berita yang memuat artikel bagus dalam kolom ‘editorial’ beberapa media daring, jarang dibagikan di ruang publik digital.
Jenis berita langsung (straightnews) mendominasi ruang virtual kita. Hampir setiap menit aula kognitif kita ‘dibombardir’ dengan ribuan teks berita kasar itu. Gaya penulisan yang bersifat mendalam dan argumentatif yang biasanya ditemukan dalam rubrik editorial ‘relatif jarang muncul’ ke permukaan.
Memang tulisan yang bersifat reflektif, argumentatif, mendalam dan agak panjang ‘kurang diminati’ oleh warga-net. Tulisan semacam itu, harus mengalami ‘nasib yang tragis’ sebab tidak dilirik oleh pembaca. Padahal, media daring, bagaimana pun juga, tetap bergantung pada ‘akumulasi klik’ yang diberikan oleh pembaca.
Kendati demikian, saya berpikir tugas utama media adalah selain menyebarkan berita, juga memproduksi dan mendiseminasikan ‘gagasan’ yang bisa menginspirasi dan mengedukasi publik pembaca. Keseriusan media dalam menjalankan fungsi edukasi dan kontrol sosial itu, tercermin dari refleksi kritis yang disajikan secara reguler dalam rubrik editorial.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas. *(RED)