“Wajah Sekolah” Dalam Media Sosial

Breaking News437 Dilihat
Silvester Joni, Pegiat Literasi. (Sumber Foto : Isth)

Oleh: Sil Joni

Labuan Bajo-TransTV45.com| Wajah peradaban manusia mengalami perubahan yang revolutif dan progresif. Perkembangan teknologi digital yang kian dinamis membuat pola pikir dan pola tindak manusia turut berubah. Metode kerja konvensional dan tradisional ‘sudah ditinggalkan’.

Kita sedang hidup dalam era serba digital. Status ontologi kemanusiaan kita pun rasanya sudah beralih. Jika sebelumnya, manusia sering dijuluki sebagai homo sapiens, maka kini, seiring dengan perkembangan teknologi digital dalam pelbagai platform-nya, kita menjadi ‘homo digitalis’.

Ketergantungan pada perangkat ‘teknologi digital’, menjadi modus baru cara berada manusia. Metode kerja yang mengandalkan ‘otot’ dan perangkat keras, sudah out of date. Tenaga manusia semakin ‘kurang dibutuhkan’ dalam kultur digital. Semuanya, hampir diambil-alih dan dipindahkan ke aplikasi digital itu.

Media sosial merupakan ‘ruang virtual’ di mana manusia menghayati budaya digital itu. Rasanya, hampir tidak ada lagi manusia yang tidak ‘bermain dalam jagat maya’ itu. Bahkan, semua aktivitas manusia sudah ‘disiarkan dan terpotret’ dengan sangat kreatif dalam pelbagai platform media sosial.

Aktivitas pembelajaran di sekolah pun tidak terlepas dari penggunaan perangkat teknologi digital ini. Bahkan dalam masa pandemi Covid-19, hampir pasti bahwa dunia pendidikan ‘berhutang budi’ dengan media digital dengan pelbagai aplikasinya.
Berkat teknologi digital, anggota komunitas sekolah ‘bisa terhubung’ satu dengan lainnya.

Aktivitas pembelajaran dan pelbagai kegiatan ekstrakurikuler berjalan dengan normal, meski tempatnya ‘beralih’ yaitu dari ruang nyata ke ruang virtual. Publik masih bisa melihat seperti apa perkembangan atau perubahan wajah persekolahan di masa pandemi itu.

Memiliki telepon pintar saat ini, bukan sebuah kemewahan. Handphone (Hp) yang terkoneksi dengan jaringan internet menjadi sebuah keharusan. Sulit untuk dipikirkan ketika masih ada sekolah yang melarang siswanya untuk memiliki HP dan membawanya ke sekolah.

Orang tua pun tidak bisa lagi melarang anaknya untuk tidak menggunakan HP di rumah. HP dan perangkat teknologi digital lainnya sudah menjadi ‘alat belajar’ baru yang tentu saja akan mengalami kendala yang besar jika tidak memiliki dan atau tidak bisa mengaksesnya.
Keberadaan teknologi digital dengan pelbagai aplikasinya merupakan ‘berkat’ bagi sekolah.

Media sosial telah menghadirkan ‘revolusi yang besar’ dalam setiap aktivitas formal di sekolah. Warga sekolah bisa mengoptimalkan pelbagai platform media sosial untuk menyebarkan ‘apa yang terjadi’ di lingkungan itu. Media sosial memungkinkan sebuah lembaga sekolah ‘go public’.

Setidaknya, ada dua tujuan mengapa warga sekolah mesti memaksimalkan keberadaan media sosial. Pertama, sebagai wahana promosi sekolah. Kita bisa mengunggah pelbagai kegiatan yang menarik di sekolah melalui facebook, twitter, instagram, youtube, tiktok dan website sekolah. Karena itu, diharapkan agar lembaga bisa mengelola secara kreatif dan konsisten beberapa platform media sosial tersebut.

Jika memungkinkan, pihak sekolah bisa ‘membayar jasa tim teknis’ dalam membuat konten dan kemasan yang tidak hanya atraktif, tetapi juga punya nilai edukatif. Saya berpikir, tidak hanya guru yang ‘terlibat’ dalam proses pembuatan konten kreatif, tetapi harus melibatkan siswa. Bagaimana pun juga, pengguna media sosial terbesar di sekolah adalah para sisa itu sendiri.

Kedua, sarana untuk menambah ‘benefit’. Sudah tidak terhitung orang sukses meraup untung dari keseriusan mereka memproduksi konten kreatif dalam bermedia sosial. Saya kira, ini berita gembira atau peluang bagi warga sekolah untuk ‘menambah kas sekolah’ melalui pergaulan yang intensif dengan media sosial. Dengan demikian, media sosial tidak hanya sebagai wahana aktualisasi diri, tetapi juga instrumen untuk mendapatkan uang.

Jumlah warga sekolah yang relatif besar, sebetulnya sangat potensial untuk secepatnya memperoleh keuntungan dari konten youtube atau tiktok yang kita kelola. Bayangkan kalau para siswa dan guru ‘diwajibkan’ untuk menonton dan membagi sebuah konten youtube, maka tentu tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan ‘google adsense’ dan berhak memasang iklan.

Jadi, kita mendapatkan efek ganda ketika media sosial dioptimalisasi. Selain sisi kreativitas semakin terasah, kita juga bisa menggenjot aspek produktivitas yang sangat berguna dalam memenuhi sebagian kebutuhan dari lembaga itu. Manfaat lain adalah sekolah kita semakin dikenal oleh publik yang lebih luas. Popularitas itu bisa menjadi ‘daya tarik sendiri’ yang membuat lembaga itu menjadi salah satu sekolah rujukan atau pilihan dari masyarakat.

Oleh sebab itu, mari kita ubah ‘mind-set’ kita tentang media sosial. Media sosial bagi komunitas sekolah bukan sarana untuk berselfie ria semata, tetapi wahana untuk meningkatkan kreativitas dan produktivitas agar ‘wajah sekolah’ semakin cerah dan bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi lembaga itu.

*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo-Manggarai Barat-NTT*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *