Ritual Helaketa Dilarang Uskup Atambua, Aris Usboko: Perlu Dikaji Ulang Terkait Larangan Tersebut

Breaking News345 Dilihat

KUPANG NTT. TRANSTV45.COM| Paus Yohanes XXIII pernah mengeluarkan satu ensiklik tentang Pacem in Terris (damai di bumi). Ensiklik ini dikeluarkan pada tanggal 11 April 1963. Walaupun telah lama diedarkan dan telah banyak terjadi perubahan dalam dunia, tetapi kelihatan Ensiklik ini masih relevan untuk situasi dunia kita sekarang ini. Suatu dunia dan abad yang baru.

Ensiklik ini masih menggema dan menyuarakan perdamaian bagi seluruh umat manusia dewasa ini. Ensiklik ini juga merupakan suara Gereja yang menolak segala bentuk kekerasan, peperangan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun yang ditekankan dalam Ensiklik ini yaitu penolakan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan perdamaian. Mengapa? Karena dari hari ke hari perdamaian semakin menjauh dari dunia ini.

Dalam situasi ini, manusia dihantui oleh rasa takut, cemas, dan khawatir yang tak kunjung berakhir. Padahal setiap manusia dalam dirinya masing-masing sangat merindukan perdamaian. Manusia menginginkan perdamaian menguasai hatinya dan menguasai seluruh kegiatan aktivitasnya sehari-hari. Singkatnya, manusia membutuhkan perdamaian dalam segala sesuatu yang dilakukannya sebagai manusia.

Dari pernyataan di atas maka perlu dikaji lebih mendalam karena kehidupan masyarakat dawan seluruhnya memandang adat-istiadat sebagai dasar yang diberikan oleh Allah, karena adat-istiadat ini dibuat oleh manusia tetapi direstui oleh kehendak Allah. Sebab Allah merupakan sumber kehidupan manusia di dunia. Seiring berjalannya waktu ke waktu maka terjadilah peperangan akibat perampasan tanah, harta karun dan lainnya. Maka terjadilah permusuhan antara setiap suku yang ada di wilayah dawan. Sehingga dari sinilah adanya sumpah dari nenek moyang agar tidak ada perkawinan dengan suku yang bermusuhan.

Untuk memperbaiki kembali hubungan ini yang sudah terjadi dimasa lampau, maka perlu di adakan salah satu ritus upacara adat. Upacara itu dinamakan upacara Helketa yang berlangsung di sungai dengan membawa hewan sebagai bentuk pemulihan kembali tali persaudaraan yang sudah lama punah. Makna dari ritus upacara Helketa merupakan awal menuju suatu perkawinan serta perdamaian dan persahabatan. Upacara ritus Helketa dilaksanakan dengan tujuan untuk mengabaikan atau menghilangkan yang disebut TA AIBA BEBA KALU KAHAT MA ASU NISIN (mengasingkan duri-duri dari pelapah gewang/lontar dan gigi taring dari anjing).

Ungkapan ini merupakan simbol yang sangat berbahaya sehingga bisa menimbulkan dalam diri kedua anak manusia dari dua daerah yang berbeda suku dalam wilayah dawan tanpa upacara Helketa. Sebab yang berkaitan dengan adat-istiadat dawan termasuk adat ritus Helketa, tidak hilang sehingga di kenal dengan istilah dawan yaitu NANUUN KAI MA NATONENKAI artinya tradisi ini hanya bisa diingat dan dijalankan dengan baik, apabila diceritakan dan di ajarkan terus-menerus pada setiap saat dan dimana saja.

Ritus Helketa juga sudah mendarah daging dan tidak bisa dihilangkan begitu saja karena ini baru pertama kali kedua suku bertemu melalui kawin-mengawin sehingga langkah awal yang perlu dilakukan adalah TASOEN ENO LALAN (membuka pintu jalan bagi kedua suku yang sudah sepakat untuk hidup berkeluarga agar ketika sudah hidup bersama-sama tidak ada malapetaka.

(Robert)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *