Pekanbaru Riau, TransTV45.com ||Pemutihan usaha Perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan menimbulkan Implikasi ke tidak pastian hukum yang berdampak pada penyelesaian permasalahan Tanah Masyarakat di Kawasan hutan,.
Pemutihan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan di nilai membawa Implikasi negatif, berupa ketidak jelasan upaya Deforestasi karena deforestasi harus di buktikan secara saintifik,bukan secara politik dan legal dengan melegalkan lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan, Hal ini Disampaikan Andi Irawan Pada hari Jum’at Tanggal 01/09/2023
Selain itu,juga berimplikasi memperburuk citra ISPO Indonesia Sustainable Palm Oil, ucap Andi Irawan.
Lebih Lanjut Andi Irawan Menerangkan,
“Meski demikian secara ilegal Pemutih usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan juga menimbulkan implikasi ketidak pastian hukum yang menciptakan dampak tambah Han terkait penyelesaian permasalahan Tanah masyarakat di kawasan hutan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusak hutan (UU.P3H) di tunjuk untuk mempidanakan kegiatan pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, yang di lakukan secara Terorganisasi, yaitu oleh suatu kelompok yang Terstruktur, yang terdiri atas dua orang atau lebih,dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan.
Tindak pidana tersebut kemudian dapat mendapatkan pengampunan berdasarkan perubahan Pasal.110 UU.P3H melalui penambahan Pasal.110A dan Pasal.110B dalam Pasal 37 UU Nomor.11/2020 Tentang cipta kerja, yaitu;dari awalnya mengatur ketentuan peralihan tindak pidana perusakan hutan menjadi mengatur penyelesaian persyaratan perizinan usaha kehutanan dan sanksi Atministrasi dengan atas ultimatum remedium,asas ini mengedepankan pengenai sanksi administratif sebelum di kenakan sanksi pidana,terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak kesehatan, keselamatan dan atau lingkungan.
Guna melaksanakan pengaturan sebagai mana tersebut di atas di bentuklah antara pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Cara Penanganan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di bidang Kehutanan PP.No.21/2021.
Kemudian karena UU.Cipta Kerja di putuskan oleh Mahkamah Kontitusi Inkonstitusional bersyarat,lantas di ganti dengan UU Nomor.6/2023 tentang penetapan Perpu Nomor.2/2022 tentang Cipta kerja menjadi UU Penetapan Perpu Cipta kerja.
Subjek hukum yang diatur di UU Cipta kerja dan UU Penetapan Perpu Cipta kerja adalah, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di Kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta kerja yang belum memenuhi Persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan di bidang Kehutanan, Namun subjek hukum PP.Nomor.24/2021,adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di kawasan hutan dan memiliki izin lokasi dan atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya UU Cipta kerja yang tidak memiliki perizinan di bidang Kehutanan.
Ketidak pastian hukum muncul ketika subyek hukum yang diatur di level undang -Undang adalah yang memiliki perizinan usaha kehutanan, sedangkan pada aturan pelaksanaan justru mengatur subyek hukum yang tidak memiliki perizinan usaha kehutanan.
Perbedaan Pengaturan Antara Undang -Undang dan aturan pelaksana muncul kembali dalam soal jangka waktu.Berdasarkan PP Nomor.24/2021 yang berlandaskan UU Cipta kerja, Perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan harus menyelesaikan persyaratan Perizinan usaha di kawasan hutan dalam jangka waktu Tiga Tahun.Namun kemudian,Pasal 37 UU.Cipta kerja di ganti dengan UU Nomor.6/2023 tentang penetapan Perpu Nomor.2/2022 tentang Cipta kerja menjadi UU,di mana batas waktu Penyelesaian Persyaratan Perizinan usaha di kawasan hutan tidak lagi Tiga Tahun ,tetapi paling lambat 2 November 2023.
Di UU P3H di sebutkan bahwa tidak termaksud kelompok yang Terstruktur, yaitu kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan Tradisional dan atau melakukan penerbangan kayu di luar kawasan hutan Konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
Karena kelompok masyarakat sebagai mana tersebut di atas tidak di katagori kan dalam kelompok yang Terstruktur,maka PP Nomor.24/2021 seharusnya tidak perlu memberikan pengaturan meskipun tidak dalam rangka membebankan persyaratan perizinan berusaha kehutanan.
Sebelum nya, upaya penyelesaian tanah masyarakat di kawasan hutan di atur melalui Perpres Nomor.88/2017 tentang penyelesaian Pengusahaan Tanah dalam Kawasan hutan,(Perpres PPTKH),Berbeda dengan UU P3H yang bersifat represif terhadap kelompok yang Terstruktur,Perpres PPTKH memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, Mekanisme di dalam PPTKH adalah salah satu mekanisme guna mendapatkan tanah obyek reforma agraria.
Seharusnya pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk ke aturan tentang perizinan berusaha sebagai mana di atur dalam UU Cipta kerja,dan aturan Pelaksananya .
Penyesuaian Perpres PPTKH terhadap aturan Pelaksana Cipta kerja justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat.
Guna mengejar percepatan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan,perlu di dukung dengan pembentukan peraturan Perundang undangan -Undang yang Baik dengan Melibatkan Partisipasi Publik secara lebih bermakna yang akan menciptakan Transformasi sawit di mana Perusahaan Perkebunan tidak lagi ekspansi lahan, tetapi percepatan Penganekaragaman Produk olahan sawit.**Roni Singgih