Palu, 8 April 2025 – TransTV45.com|| Gita Nofebriani, seorang karyawan tetap yang telah mengabdi selama 9 tahun 5 bulan di PT Surya Tadulako Sejahtera, perusahaan milik Ketua DPRD Kota Palu, mengaku merasa dirugikan oleh ketidakjelasan status kerja dan upah yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Kota (UMK).
Dalam keterangan resminya, Gita mengungkapkan bahwa dirinya tidak diberhentikan secara sah, namun juga tidak diberi kepastian mengenai status kepegawaian. “Waktu saya masuk kerja, saya malah ditanya: ‘Ngapain kamu ke kantor?’ Seakan-akan saya sudah tidak dianggap sebagai karyawan,” ujarnya.
Lebih parahnya lagi, selama bekerja, Gita menerima upah yang tidak sesuai UMK, dengan alasan perusahaan tergolong sebagai UMKM. Namun, Gita membantah klasifikasi tersebut. “Kami 25 orang karyawan, dan perusahaan ini melayani jasa dry cleaning dengan standar internasional. Masa dianggap usaha kecil?” tegasnya.
Tiga Kali Mediasi Gagal, Surat Mediasi Tak Diberikan
Upaya penyelesaian kasus ini telah dilakukan melalui tiga kali mediasi di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Palu. Namun, hasilnya nihil. Bahkan, Gita mengaku tidak diberikan berita acara mediasi, padahal itu menjadi hak dasar pekerja.
Pada mediasi terakhir, Disnaker menghitung pesangon sebesar Rp32 juta, namun kedua pihak belum menemukan titik temu. Gita merasa perlakuan terhadapnya menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap buruh perempuan di daerah.
Wartawati yang Mendampingi Diperlakukan Tidak Sopan
Pada 8 April 2025, Gita datang ke kantor Disnaker bersama seorang wartawati, Ruth Sanaya, untuk meminta kejelasan hasil mediasi serta penjelasan resmi soal upah di bawah UMK. Namun, upaya tersebut mendapat respons kasar dari pejabat Disnaker, Abdul Salam, S.Ag.
Menurut Ruth, dirinya dihina dengan kata “bodok” (bodoh) dan diusir dari ruangan. “Saya dianggap tidak tahu apa-apa dan dikatakan wartawan tidak berhak mendampingi karena bukan advokat,” ujar Ruth.
Padahal, menurut UU Pers No. 40 Tahun 1999, wartawan memiliki hak melakukan kegiatan jurnalistik termasuk mendampingi masyarakat dalam pencarian informasi publik.
Tindakan Abdul Salam mendapat kecaman dari berbagai kalangan, termasuk aktivis buruh, LSM perempuan, dan komunitas jurnalis.
Mereka menilai insiden ini sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan dan mencerminkan arogansi birokrasi.
“Kalau pejabat publik saja tidak bisa memahami peran pers sebagai pilar demokrasi, bagaimana mungkin hak-hak buruh bisa dilindungi?” tegas seorang aktivis dari LSM Palu Bergerak.
Mereka juga mendesak Wali Kota Palu dan Gubernur Sulawesi Tengah untuk menindak tegas perilaku aparat birokrasi yang mencederai semangat keterbukaan dan perlindungan hak pekerja.
Kasus ini kini menjadi perhatian luas, tidak hanya karena menyangkut nasib buruh perempuan, tetapi juga karena menyangkut etika pelayanan publik dan perlindungan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas.
( Red )