Refleksi 80 Tahun Indonesia: Keresahan Abadi tentang Politik

Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara- Transtv45.com||indonesia sebentar lagi akan merayakan 80 tahun kemerdekaannya. Delapan dekade adalah waktu yang panjang, di mana bangsa ini telah melalui berbagai sistem politik, jatuh bangunnya kekuasaan, dan dinamika yang tak henti. Namun, di balik segala perubahan itu, satu hal yang terasa tak pernah usai adalah keresahan abadi tentang politik. Mengapa, setelah sekian lama, politik kita masih terus menjadi sumber kegelisahan bagi rakyatnya?

Korupsi yang Tak Kunjung Padam

Salah satu keresahan paling mendalam dan tak ada habisnya adalah korupsi. Sejak era Orde Baru hingga reformasi, praktik korupsi seolah menjadi benalu yang sulit dicabut dari akar birokrasi dan kekuasaan. Miliaran bahkan triliunan rupiah uang rakyat raib digerogoti, menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan memperlebar jurang kesenjangan. Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, lembaga antikorupsi dibentuk, namun nyatanya, persoalan ini masih menjadi hantu yang menghantui setiap sendi politik Indonesia.

Polarisasi dan Pembelahan Sosial

Belakangan ini, polarisasi politik semakin terasa mengkhawatirkan. Terutama saat momen-momen elektoral, masyarakat seringkali terbelah tajam berdasarkan afiliasi politik atau identitas tertentu. Narasi-narasi provokatif, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks mudah memicu konflik dan memperdalam jurang perbedaan. Kondisi ini merusak kohesi sosial, menghambat dialog konstruktif, dan mengancam persatuan yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa.

Oligarki dan Demokrasi yang Terkooptasi

Keresahan lainnya adalah tentang dominasi oligarki. Meskipun kita mengklaim sebagai negara demokrasi, kekuasaan seringkali terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang memiliki sumber daya ekonomi dan politik besar. Hal ini membuat proses politik tidak sepenuhnya merepresentasikan suara rakyat, melainkan lebih banyak mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Demokrasi menjadi terkooptasi, di mana keputusan-keputusan strategis lebih banyak ditentukan oleh lobi-lobi di belakang layar ketimbang aspirasi publik yang sesungguhnya.

Birokrasi yang Lamban dan Tidak Efisien

Di level implementasi, birokrasi yang lamban dan tidak efisien juga menjadi keluhan klasik. Janji-janji politik di masa kampanye seringkali terbentur pada realitas birokrasi yang berbelit, kurangnya koordinasi antarlembaga, dan mentalitas “pelayanan” yang belum sepenuhnya berpihak pada rakyat. Hal ini menghambat investasi, menyulitkan masyarakat mendapatkan hak-haknya, dan pada akhirnya, memperlambat kemajuan bangsa.

Partisipasi Publik yang Belum Optimal

Meskipun ruang partisipasi publik telah terbuka pasca-reformasi, kualitas partisipasi itu sendiri masih perlu dipertanyakan. Masyarakat seringkali hanya dilibatkan di permukaan, tanpa benar-benar memiliki kekuatan untuk memengaruhi kebijakan. Di sisi lain, apatisme politik atau partisipasi yang bersifat transaksional juga menjadi tantangan. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa suara rakyat benar-benar didengar dan diwujudkan dalam kebijakan publik?

Tantangan dan Harapan ke Depan

Memasuki 80 tahun kemerdekaan, keresahan tentang politik ini seharusnya menjadi cerminan untuk berbenah. Politik seharusnya menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan arena perebutan kekuasaan semata. Tantangan kita adalah bagaimana membangun sistem politik yang lebih bersih, transparan, akuntabel, dan benar-benar melayani rakyat.

Ini adalah tanggung jawab kita bersama, baik pemerintah, partai politik, aparat penegak hukum, media, maupun masyarakat sipil, untuk terus mengawal dan memperbaiki kualitas politik di Indonesia.

Ld_Ramuli( Ujang )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *