Tender Proyek Cipta Karya Surabaya 2025 Disorot: Transparansi dan Integritas Dipertanyakan

SURABAYA –TransTv45.com||Tahun 2025 menjadi periode penuh tantangan bagi Pemerintah Kota Surabaya, khususnya Dinas Cipta Karya, yang mengemban misi besar membangun infrastruktur perkotaan. Sejumlah proyek strategis dicanangkan: dari underpass, drainase, hingga perumahan. Namun, di tengah ambisi pembangunan, muncul catatan kritis yang menyoroti masalah keterbukaan informasi, sengketa lahan, hingga dugaan praktik gratifikasi. Sorotan publik semakin kencang, karena janji pembangunan kota modern justru sering terhambat oleh praktik lama birokrasi yang berulang.

Sengketa Lahan: Tiga Dekade Tak Selesai

Salah satu kasus paling menyita perhatian terjadi pada Agustus 2025. Konflik lahan seluas 57,5 hektare di Pradah Kali Kendal kembali mencuat, setelah puluhan tahun tak menemukan solusi. PT Darmo Permai mengklaim sebagai pemilik sah, sementara warga menolak keras klaim tersebut. Sengketa ini memaksa DPRD Surabaya dan Kejaksaan turun tangan sebagai mediator.

“Kalau sengketa ini tidak segera diputuskan, warga akan terus jadi korban ketidakpastian. Pemerintah kota harus hadir lebih tegas,” ujar Khudlori, anggota Komisi A DPRD Surabaya.

Fakta bahwa persoalan berlarut hingga tiga dekade menunjukkan lemahnya kepastian hukum pertanahan di Surabaya. Padahal, tanpa penyelesaian yang adil, proyek pengembangan kawasan akan selalu terancam protes warga.

Perumahan Alana GSI: Warga Melawan Pengembang

Tak kalah panas adalah kasus pembangunan Perumahan Alana GSI di kawasan Gunungsari Indah sejak Juli 2025. Warga menuding pengembang menggunakan fasilitas umum tanpa prosedur serah terima ke Pemkot. Rekomendasi teknis drainase yang diabaikan membuat lingkungan sekitar rawan genangan, ditambah polusi debu yang mengganggu kesehatan.

“Ini jelas pelanggaran. Kalau fasilitas umum belum diserahkan, mestinya tidak bisa dipakai seenaknya oleh pengembang,” tegas Edi Suryanto, koordinator Forum Warga Gunungsari Indah.

Protes warga menegaskan satu hal: tata kelola pembangunan perumahan masih kerap abai terhadap standar lingkungan dan hak publik.

Proyek Strategis Tersendat

Ambisi besar Surabaya juga terganjal pada proyek-proyek skala kota. Pembangunan Underpass Dolog, yang disebut-sebut bisa mengurai kemacetan, hingga kini tersendat akibat 16 persil rumah yang belum dibebaskan.

Proyek lain, Jalur Lingkar Luar Timur (JLLT), bahkan tidak masuk dalam APBD 2025. Alasan resmi: desain belum rampung dan lokasi belum tuntas ditetapkan. Bagi publik, keterlambatan ini hanya menambah daftar panjang proyek penting yang tak kunjung terwujud.

Lebih kontroversial lagi adalah Surabaya Waterfront Land (SWL), bagian dari Proyek Strategis Nasional. DPRD Kota Surabaya menilai proyek ini bertabrakan dengan Perda RTRW Provinsi Jawa Timur No. 10/2024 dan Perda Kota Surabaya No. 12/2014. Selain mengancam ekosistem mangrove, proyek SWL dinilai berpotensi menyingkirkan sekitar 8.000 nelayan.

“Ini proyek yang sejak awal cacat hukum. Kalau diteruskan, bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga menyingkirkan nelayan dari ruang hidupnya,” kata Yuliani Setyawati, Direktur Walhi Jawa Timur.

Integritas Birokrasi di Ujung Tanduk

Sisi lain yang menambah kelam catatan pembangunan Surabaya adalah integritas birokrasi. Pada Juni 2025, Ganjar Siswo Pramono, eks Kabid Jalan dan Jembatan Dinas SDA dan Bina Marga, ditetapkan tersangka kasus gratifikasi Rp 3,6 miliar saat menjabat sebagai PPK. Kasus ini berkembang ke dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Tak lama berselang, Rudi Suparmono, mantan Ketua PN Surabaya, divonis 7 tahun penjara karena terbukti menerima gratifikasi dari dinas yang sama. Fakta bahwa dua institusi berbeda terhubung dengan sumber gratifikasi serupa, menunjukkan indikasi pola sistemik—bukan sekadar penyimpangan individu.

Kinerja administrasi Pemkot juga tak lepas dari sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan LKPD 2024 memang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tetapi BPK mencatat kelemahan serius, seperti pengelolaan aset yang tidak tertib. Hilangnya 50 unit iPad untuk DPRD periode 2016–2019 menjadi simbol lemahnya akuntabilitas.

“WTP bukan berarti bebas masalah. Banyak catatan BPK yang seolah didiamkan. Ini harus dibuka ke publik, supaya masyarakat tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ungkap Achmad Zulkarnain, peneliti Pusat Studi Tata Kelola Pemerintahan Unair.

Transparansi Lelang: Pintu Masuk Masalah

Di balik semua problem teknis dan hukum, akar masalah sebenarnya sering berawal dari proses lelang proyek. Minimnya keterbukaan informasi tender di LPSE Surabaya membuat publik sulit mengakses detail proses seleksi. Indikasi perusahaan tertentu selalu menang tender, meski rekam jejaknya dipertanyakan, menjadi bahan gosip panas di kalangan kontraktor lokal.

“Kalau transparansi lelang tidak dibuka secara penuh, selalu ada kecurigaan permainan. Yang dirugikan akhirnya warga kota sendiri,” pungkas Khudlori dari DPRD Surabaya.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa keberanian Pemkot dalam mendorong pembangunan fisik tidak sebanding dengan keseriusan memperkuat fondasi integritas birokrasi.

Publik Menunggu Aksi Nyata

Gelombang kritik dari DPRD, masyarakat sipil, dan akademisi menegaskan kebutuhan mendesak akan reformasi tata kelola. Warga Surabaya bukan hanya menuntut pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan kepercayaan. Tanpa transparansi lelang, tanpa penyelesaian sengketa lahan, tanpa pengawasan ketat pada pengembang, mimpi kota modern hanya tinggal slogan.

“Kalau proyek dibangun dengan fondasi rapuh, hasilnya juga rapuh. Kita tidak butuh sekadar bangunan, kita butuh tata kelola yang bersih,” tutur Yuliani Setyawati dari Walhi.

Tahun 2025 seharusnya bisa menjadi momentum pembuktian bahwa Surabaya mampu keluar dari pola lama birokrasi: tertutup, lambat, dan rawan korupsi. Namun sejauh ini, tanda-tanda itu belum terlihat.

Penutup

Surabaya memang layak bermimpi besar sebagai kota maju. Tetapi mimpi itu akan runtuh jika jalan menuju ke sana dipenuhi sengketa, protes warga, proyek mangkrak, dan integritas birokrasi yang dipertanyakan. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik adalah syarat mutlak. Tanpa itu, pembangunan hanya akan jadi panggung megah yang rapuh di dalam.

Sampai berita ini diturunkan Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Surabaya Lilik Arijanto ST MT belum bisa ditemui

( Mikhael )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *