
Palu- TransTV45.Com// Sebidang lahan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, hanya menyisakan tanah rata dan sunyi. Sejak Maret 2025, lahan itu telah ditimbun dengan anggaran hampir Rp200 juta dari kas negara. Ironisnya, lahan tersebut tak kunjung menjadi fondasi gedung perpustakaan yang dijanjikan.
Gedung perpustakaan memang dibangun, tetapi di lokasi lain. Dari sinilah simpul masalah proyek Gedung Layanan Perpustakaan Kabupaten Parigi Moutong terungkap—membentang dari dugaan konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, potensi pemerasan, hingga pembiaran oleh penguasa.
Proyek yang Berpindah dan Aset Menganggur
Pada Maret 2025,Dinas Perpustakaan dan Kearsipan setempat memberlakukan proyek penimbunan lahan senilai Rp199,7 juta, yang dikerjakan CV Sapu Jagat Konstruksi. Pekerjaan lunas dibayar. Dua bulan kemudian, proyek utama pembangunan gedung perpustakaan senilai Rp10 miliar dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dimulai, dimenangkan CV Arawan dengan nilai Rp8,79 miliar.
Namun, investigasi tim pemantau KRAK Sulteng mengungkap fakta mengejutkan: gedung tersebut justru dibangun di lokasi berbeda. Lahan yang telah ditimbun dibiarkan mangkrak. “Secara akuntansi dan hukum, ini aset menganggur. Uang negara sudah keluar, manfaatnya nol,” tegas Ketua Umum KRAK Sulteng, Harsono Bereki.
Sisa Anggaran dan Prosedur yang Diabaikan
Dari tender utama,tersisa selisih anggaran Rp1,208 miliar. Dana ini kemudian dialihkan untuk tiga paket baru: pembangunan pagar, taman, dan area parkir—masing-masing sekitar Rp400 juta—melalui penunjukan langsung. Persoalannya, kontrak pekerjaan tambahan ini ditandatangani pada Agustus 2025, sementara dokumen APBD Perubahan baru dibahas Oktober 2025. Artinya, penggunaan sisa DAK dilakukan tanpa dasar anggaran yang sah, melanggar ketentuan earmarked yang mensyaratkan prosedur ketat.
Tiga Peran dalam Satu Orang: Konflik Kepentingan Telanjang
Masalah tata kelola semakin runyam dengan ditemukannya rangkap jabatan.H. Moh. Sakti Lasimpala merangkap sebagai Kepala Inspektorat Kabupaten, Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek yang sama. “Ini pelanggaran serius. Tidak mungkin ada pengawasan independen ketika satu orang merencanakan, menandatangani kontrak, lalu mengawasi proyeknya sendiri,” komentar seorang auditor senior.
Dugaan Fee dan Tekanan Administratif
Koalisi Rakyat Anti Korupsi(KRAK) Sulteng juga memperoleh informasi mengenai rekaman suara yang diduga berisi permintaan fee sebesar Rp200 juta. Rekaman itu disebut telah diamankan untuk diserahkan ke penegak hukum. Seorang kontraktor, Stenly, mengeluhkan pencairan termin yang berlarut-larut. “Administrasi dipersulit, PPK sulit ditemui,” ujarnya. Pola seperti ini kerap menjadi mekanisme halus untuk memaksa kontraktor “berkompromi”.
Denda Harian yang Dipertanyakan
Kini,kontraktor gedung perpustakaan dikenai denda keterlambatan sekitar Rp8 juta per hari. Namun, keterlambatan ini diduga kuat akibat perubahan lokasi yang tidak diikuti penyesuaian perencanaan—bukan semata kesalahan kontraktor. Dalam praktik pengadaan yang sehat, kondisi demikian seharusnya dikategorikan sebagai peristiwa kompensasi, yang memberikan hak perpanjangan waktu tanpa denda. “Justru sebaliknya, denda terus diberlakukan,” ujar seorang praktisi pengadaan. Sumber proyek menyebut, situasi ini memburuk setelah kontraktor diduga tidak memenuhi permintaan uang secara informal.
Pembiaran oleh Pimpinan Daerah
Pasangan Bupati dan Wakil Bupati baru,Erwin Burase dan Abdul Sahid, dilantik pada 2 Juni 2025. Secara hukum, kewenangan ada di tangan mereka. Namun, setelah pelantikan, rangkap jabatan tetap dibiarkan, kontrak tidak sah tetap berjalan, dan keputusan pengenaan denda tidak dievaluasi. “Dalam hukum administrasi, yang dinilai bukan hanya yang memulai, tapi juga yang membiarkan,” tegas Harsono.
Kerugian Negara yang Berlapis
Potensi kerugian negara dari kasus ini multidiimensi:±Rp200 juta untuk lahan tak terpakai, ±Rp1,208 miliar dari penggunaan DAK tak prosedural, kerugian non-tunai akibat layanan perpustakaan yang tertunda, serta potensi sengketa kontrak akibat denda harian yang tidak fair. Publiklah yang akhirnya paling dirugikan.
Menunggu Ujian Penegakan Hukum
Laporan resmi telah dilayangkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah,mengangkat dugaan penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan, pengadaan tidak sah, pemerasan, dan pembiaran. Kasus ini akan menguji apakah penegakan hukum hanya menyentuh pelaksana teknis, atau berani menyelisik hingga ke tingkat pembiaran oleh pengambil keputusan.
Sementara itu, lahan yang telah ditimbun itu tetap kosong—menjadi monumen bisu atas habisnya uang rakyat, proyek yang tersandera, dan sanksi yang justru dijatuhkan kepada pihak yang lemah.
( Red )







