Sambas, TransTV45.Com: 29/Jan/2024.Penegakan hukum tidak selalu sama dengan penegakan keadilan. Menegakkan hukum belum tentu menegakkan keadilan. Oleh karena itu, pengadilan yang paling tinggi adalah pengadilan hati, karena keadilan dapat dirasakan oleh hati, dalam kontek ini yang tidak beruang selalu menjadi korban.
Banyak fakta adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan.
Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum tanpa nurani dan akal sehat.
Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.
Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’, artinya tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.
Di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD RI 1945 juga secara tegas menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Contoh kasus :
Remaja Divonis 1 Tahun Pembinaan Usai Bela Diri dari Begal Kasus membela diri dari begal juga terjadi pada ZA, seorang siswa SMA di kabupaten Malang pada tahun 2019. Ia dan teman perempuannya didatangi oleh tiga orang yang bermaksud merampas motor dan ponselnya. Kawanan tersebut bahkan juga melontarkan niat ingin memperkosa teman perempuan ZA. ZA yang merasa terancam kemudian mengambil pisau dari jok motornya dan menusukkannya pada dada salah seorang dari kawanan tersebut. Pisau ini diklaim ZA akan digunakannya untuk keperluan praktik di sekolah. Hakim kemudian memvonis ZA dengan pidana pembinaan selama satu tahun di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam, kabupaten Malang. Ia dinyatakan bersalah melakukan penganiayaan yang menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Bagaiamana dengan almahum Marap ?
almahum Marap tidak sedang menyerang Pelaku yang mematahkan leher almahum, Alamahum Marap bertengkar mulut dengan Amin terkait tanah di rumah Harun pada 9 April 2023 jam 09.45 wib, lalu Harun melerai dan mempiting leher Almahum Marap hingga tulang leher Marap patah karena Harun sempat membawa sekitar 3 meter dalam posisi tetap terpiting dan 41 hari Marap pun meninggal dunia pada 21 Mei 2023 dan di kebumikan 22 Mei 2023, Marap sendiri sempat di rawat di Rumah Sakit Pemangkat selama 7 hari (10/4/2023 – 17/4/2023). Almahum Marap keluar dari Rumah Sakit karena keluarga korban tidak memiliki biaya lagi untuk biaya perobatan, karena janji Harun yang akan membantu untuk membayar sebagian biaya perobatan tidak terwujud. Korban hanya menerima uang 500.000 dari Harun.
Bahwa yang dibawa Almahum Marap saat datang ke rumah Harun untuk menemui Amin saat itu adalah rotan pemukul lalat / nyamuk bukan parang atau senjata yang bisa membunuh. Marap dibawa hingga 3 meter dalam posisi terpiting oleh Harun, wajarkah Harun disebut sedang melakukan pembelaan terpaksa (Noodweer) ? Pantas kah Almahun Marap di sebut mengancam nyawa Harun ? Kondisi saat itu hanya bertengkar saja tidak ada sentuhan pisik antara Marap dan Amin termasuk Marap kepada Harun.
Dan karena Alamahum Marap bisu, sangatlah wajar tidak bisa bicara dan usia Marap pun 52 tahun sudah tua. Sementara pelaku masih muda dan saat peristiwa terjadi sedang menjabat Kepala Desa Tebuah Elok, Kec. Subah, Kab. Sambas.
Maka pertanyaan kami mengapa Pelaku lebih memilih mempiting Marap dan mengapa pelaku tidak sebagaimana biasa nya, bukankah pelaku mengetahui secara pasti kondisi dan usia Marap? Pada persidangan Harun sempat mengaku jika dirinya lah yang menjadi korban, dan Harunlah yang sebenarnya melapor ke Polisi.
Sudah benarkah pertimbangan Hakim yang mengadili Harun, membebaskan Terdakwa Harun, dengan pertimbangan Harun melakukan pembelaan terpaksa (Noodweer) ? Jelas sangat tidak adil putusan tersebut bagi keluarga almahum MARAP, semoga Hakim di Mahkamah Agung Republik Indonesia membatalkan Putusan Majelis Hakim PN Sambas yang mengadili Terdakwa Harun anak Nyusor.pungkas PH Alm Marap.
Editor:Eddy (Korwil Kalbar)