Sumpah Pemuda, Pluralitas Indonesia, dan Integrasi Nasional

Breaking News543 Dilihat

Oleh: Onessimus Febryan Ambun
Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat STFK Ledalero

NTT.TRANSTV45.COM| Setiap tahun, 28 Oktober di Negeri kita merupakan suatu hari yang keramat. Mengapa demikian? Alasannya karena pada tanggal inilah para pemuda di sebuah daerah kepulauan yang bernama Hindia Belanda pada tahun 1928, mengikrarkan sumpah persatuan yang berdampak langsung pada perjuangan membentuk negara Indonesia merdeka. Cita-cita mereka untuk membentuk suatu bangsa besar, melampaui seluruh perbedaan yang mereka miliki. Para pemuda yang hadir untuk mengikrarkan sumpah persatuan ini tidak hanya datang dari salah satu suku, tetapi dari berbagai suku yang mendiami Nusantara.

Sebelum Indonesia lahir, Negeri ini dinamakan sebagai Hindia Belanda. Pada waktu itu, identitas kebangsaan belum ada, yang ada hanyalah identitas kedaerahan yang tentu saja beragam dan terpecah-pecah. Identitas kedaerahan merupakan suatu realitas prakemerdekaan. Hal ini memudahkan penjajah dalam menjajah dan memecahbelah serta menciptakan konflik pada daerah yang dikuasainya di seluruh Nusantara. Politik Devide et Impera menjadi senjata utama penjajahan. Realitas sosial, budaya, agama, keyakinan, dan bahasa yang plural dari masyarakat Nusantara dijadikan amunisi untuk mengafirmasi politik Devide et Impera ini.

Sejauh pengamatan sejarah, pada akhirnya politik Devide et Impera dari para penjajah akhirnya gagal. Masyarakat yang mendiami seluruh kepulauan Nusantara pada akhirnya menyadari betapa pentingnya persatuan. Meskipun didasari keanekaragaman, persatuan atau unitas semakin hari semakin menjadi nilai pokok perjuangan melawan penjajahan. Pluralitas pada hakikatnya disadari sebagai kelemahan, tetapi juga di lain pihak merupakan suatu kekuatan tersendiri. Hal ini bergantung pada bagaimana pluralitas atau keanekaragaman itu dihayati oleh segenap tumpah darah bangsa.

Namun, pertanyaannya, bagaimana mungkin pluralitas dapat berubah menjadi kekuatan tersendiri bagi bangsa ini untuk melawan penjajahan? Bukankah pluralitas itu sendiri merupakan suatu patologi dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan? Bagaimanakah para pemuda 93 tahun yang lalu menyikapi hal ini?

“Pluralitas Indonesia”

Pluralitas atau keanekaragaman merupakan realita kehidupan bangsa Indonesia. Negeri yang terletak di antara Asia dan Australia ini adalah negara kepulauan yang memiliki beraneka macam suku, kebudayaan, agama, pandangan hidup, dan bahasa. Indonesia memiliki lebih dari 300 suku yang menetap di wilayahnya. Selain itu, Indonesia juga memiliki tingkat kompleksitas bahasa daerah yang tinggi, yaitu sekitar 718 bahasa. Pluralitas adalah esensi dasar dan pembentuk bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia lahir dari pluralitas, ia tidak lahir begitu saja dari salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah kepulauan Asia Tenggara ini.

Pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia ini menandai seluruh tatanan sosial dalam kehidupan seluruh rakyatnya. Seluruh rakyatnya hidup dalam partikularitas suku, budaya, agama, dan bahasa. Pluralitas menjadi sebuah paradigma sosial dalam hidup bermasyarakat. Paradigma ini menjadi dasar dari Indonesia terpadu. Para pemuda Nusantara 93 tahun yang lalu menyadari betapa pluralnya negeri ini. Mereka menyadari betapa rentannya negeri ini jika pluralitas tetap menjadi penanda seluruh tatanan kehidupan bangsa kita. Bahaya perpecahan sangat besar jika pluralitas tanpa unitas dipertahankan begitu saja. Melihat hal ini, para pemuda menyadari bahwa dari partikularitas yang menandai seluruh tatanan sosial bangsa ini, apakah mempertahankan partikularitas-partikularitas merupakan hal yang dibutuhkan demi menciptakan kehidupan bersama yang harmonis? Ataukah sebaliknya, partikularitas-partikularitas itu harus dihapuskan demi menciptakan suatu homogenitas budaya, bahasa, suku, agama, dan lain sebagainya?

Universalitas memang merupakan suatu kebutuhan substansial tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah bangsa atau negara, tak dapat disebut negara atau bangsa jika tidak terdapat universalitas atas partikularitas di dalamnya. Meskipun partikularitas dalam kehidupan tidak dapat dimungkiri keberadaannya, tetapi untuk menjadi sebuah bangsa atau Negara, setiap perbedaan itu harus disingkirkan demi mewududkan suatu identitas nasional yang universal bagi setiap tumpah darahnya. Namun di lain pihak, pengintergrasian melalui sistem pemaksaan kehendak untuk menciptakan homogenitas tidaklah dapat dibenarkan. Hal itu disebabkan karena Indonesia pada hakikatnya adalah Negara yang dirajut dari keanekaragaman budaya, agama, suku, dan bahasa daerah dan pemaksaan untuk mencapai sebuah kehomogenitasan hanya ada pada negara yang mempunyai sistem totaliter.

Andaikata kesamaan sosial-budaya harus ditolak karena ia menyembunyikan hegemoni budaya, imperialisme dan entosentrisme, maka atas dasar apa kita harus membangun sebuah kesatuan di tengah-tengah keanekaragaman menjadi mungkin? Bagaimanakah sebuah kehidupan bersama dalam masyarakat Indonesia harus dibangun agar ketegangan antara pluralitas dan universalitas dapat dijembatani? Hal ini sempat membingungkan para pemuda di masa lalu.

Integrasi: Rasionalitas Komunikatif atau Rasionalitas Instrumental?

Meskipun pada akhirnya kebingungan yang dialami para pemuda di masa lalu dapat teratasi, tetapi bukankah pertanyaan-pertanyaan yang sempat membingungkan para pemuda 93 tahun yang lalu tetap relevan dibahas dan dijawabi? Mengenai kesulitan yang dialami para pemuda tentang fenomena pluralitas vs unitas, Jurgen Habermas, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat teori kritis rasionalitas komunikatifnya. Rasionalitas komunikatif yang digagasnya berikhtiar membangun hubungan dialektis demi menjembatani unitas dan pluralitas, universalitas dan partikularitas. Hubungan dialektis antara dualisme yang saling bertentangan itu menciptakan proses komunikasi dan kerja sama (Madung, 2015:6).

Dalam hal ini, bangsa Indonesia mempunyai Bahasa Indonesia sebagai rasionalitas komunikatif yang berperan menjadi media dialog antar substansi kebudayaan. Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat vital bagi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional dan bahasa resmi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia dicetuskan pertama kali di dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sebagai “bahasa persatuan”. Bahasa persatuan ini adalah sintesis dari pluralitas bahasa yang ada di negeri kita. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan media integrasi yang paling penting dan mumpuni untuk menyatukan seluruh tumpah darah bangsa ini.

Namun, mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah gagasan para pemuda 93 tahun yang lalu itu merupakan gagasan yang lahir dari pemaksaan kehendak demi mewujudkan integrasi? Apakah ada kemungkinan dan kecendrungan di mana terdapat salah satu etnis yang mempengaruhi dan memaksakan kelompok etnis lain untuk menerima gagasan subyektif mereka sehingga dapat dimufakatkan suatu unitas dan homogenitas atas segala perbedaan substansi kebudayaan?

Pemaksaan kehendak untuk mewujudkan suatu integrasi dalam keanekaragaman substansi kultural, oleh Habermas, dinamakan rasionalitas instrumental. Dalam mencapai kesaling-pahaman dengan orang lain, tindakan instrumental adalah tindakan yang dilakukan melalui pemaksaan kehendak atau dominasi untuk memperalat orang agar dapat mewujudkan sesuatu yang diidamkan. Namun dalam hal ini, tidak baik menggunakan tindakan rasional dengan tujuan yang instrumental ataupun yang strategis. Mengapa? karena saat kita berkomunikasi untuk mendapatkan kesalingpahaman, hal itu tidak akan terjadi saat kita menggunakan tindakan berkomunikasi instrumental tersebut. Kita memang bisa melakukannya, tetapi tidak akan terjadi konsensus yang membuat semuanya lega. Karena, dalam tindakan strategis-instrumental, orang menggunakan bahasa untuk memaksakan kehendak. Sehingga konsensus tersebut tidak diakui.

Bahasa persatuan yang dicetuskan oleh para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 itu, pada hakikatnya bukanlah suatu pemaksaan terhadap berbagai substansi kebudayaan yang plural untuk mewujudkan kehomogenitasan. Bahasa persatuan itu lahir dari cita-cita dialektis para anak bangsa untuk memutus mata rantai konflik kultural yang beraneka-ragam yang terjadi pada bangsanya. Meskipun kesatuan dalam hal bahasa hanya merupakan salah satu poin dalam sumpah pemuda, tetapi media komunikasi ini merupakan hal yang sangat penting dalam memperjuangkan kesatuan dalam berbagai hal. Satu nusa dan satu bangsa dapat dicapai dengan mudah jika terdapat kesatuan media komunikasi, yaitu bahasa. Integrasi nasional merupakan cita-cita yang sangat diidamkan oleh para pemuda 93 tahun yang lalu. Integrasi ini tidak digagas secara paksa, tetapi digagas melalui rasionalitas komunikatif yang dialektis. Gagasan integrasi ini muncul dari rasa kebersamaan, rasa senasib-sepenanggungan para pemuda yang mewakili bangsanya–mereka ingin terbebas dari penjajahan sekaligus terbebas dari politk pecah belah yang memanfaatkan partikularitas rakyat Nusantara. Hal ini menunjukan adanya kesepakatan bersama antara substansi-substansi kebudayaan yang plural untuk mewujudkan keharmonisan hidup lewat dialog interkultural. Dialog interkultural merupakan akses kepada unitas atau universalitas kebangsaan. Hal ini dilihat dari bahasa Indonesia yang telah disepakati bersama sebagai bahasa persatuan. Bahasa persatuan merupakan ide yang sejalan dengan universalitas-dialektis-emansipatoris yang dibicarakan Habermas melalui rasio komunikatif untuk menjangkau setiap tumpah darah Indonesia yang plural.

Jika demikian, pluralitas budaya, agama, dan etnisitas serta keanekaragaman bahasa daerah harus dipandang sebagai aset Negara dan bangsa yang tidak menghalangi komunikasi atau persatuan nasional. Dalam hal ini juga, segala aset yang ada itu harus dihormati dan dikembangkan serentak dengan pengembangan integrasi nasional. Bahasa Indonesia mempunyai peran penting untuk merekatkan segala keanekaragaman itu. Dengan demikian, media integrasi satu ini harus selalu dikembangkan dan diutamakan dalam membangun dialog-dialog interkultural. Integrasi harus selalu menjadi poin pertama yang harus dicapai dari segala keanekaragaman yang ada. Namun di lain pihak, jangan sampai asas dan citra keanekaragaman Indonesia, pada akhirnya tenggelam pada cita-cita integrasi bangsa yang non-dialektis yang tentunya akan melukai keanekaragaman maupun kesatuan bangsa itu sendiri. *(RED)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *