Labuan Bajo (TransTV45.com)| Memperingati sebuah ‘peristiwa’ atau penghormatan pada perkumpulan profesi tertentu, seperti guru, merupakan kesempatan untuk membuat refleksi, introspeksi, dan proyeksi. Demikian halnya dengan momen peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 25 November 2021 ini.
Bagi saya, HGN menjadi momentum untuk memperdalam pemahaman dan cara pandang tentang signifikansi sosok guru dan peran yang semestinya dimainkannya dalam pentas peradaban manusia. Untuk itu, dalam tulisan ini, saya coba mendalami salah satu peran vital guru di tengah setting sosial politik. Tentu, penonjolan peran sosial ini, tidak bermaksud meminggirkan peran penting lainnya.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang kian canggih, tanpa menafikan sisi negatifnya, tentu saja menghadirkan sejumlah kemudahan atau keuntungan bagi manusia. Sebagian besar pekerjaan yang dulu menggunakan ‘tenaga manusia’, kini telah diganti oleh peranti teknologi (digital).
Namun, satu hal yang tidak mungkin digantikan oleh teknologi adalah pekerjaan memanusiakan manusia.
Upaya mencerdaskan manusia, rasanya amat muskil mengandalkan kecakapan teknologis semata. Karena itu, eksistensi dan peran seorang guru dalam ‘mendidik’ manusia muda, tidak akan tergantikan.
Kendati demikian, fungsi dan peran yang diemban oleh seorang guru sebagai ‘pendidik dan pengajar’ itu, mesti selaras dengan spirit zaman. Guru mesti berada pada garda terdepan dalam menerima dan menciptakan perubahan berkat adaptasi kreatif terhadap aneka perkembangan di kekinian. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa guru merupakan agen pembaharu (agent of change) baik untuk konteks pembelajaran di sekolah, maupun untuk konteks hidup kemasyarakatan yang lebih luas.
Tegasnya, perubahan zaman dan teknologi yang begitu cepat dewasa ini menuntut dunia pendidikan khususnya para guru untuk beradaptasi.
Tujuan pendidikan nasional tidak lagi terfokus pada upaya mencetak siswa yang berpengetahuan, tetapi juga siswa yang berketerampilan, memiliki skill, dan berkarakter.
Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat membuka Kongres XXII Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) – Kongres Guru Indonesia Tahun 2019 di Britama Arena, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat, 5 Juli 2019 mengatakan: “Pendidikan kita juga harus mampu memberikan bekal keterampilan, bekal skill, kepada siswa yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Ketika pembangunan SDM menjadi prioritas paling utama, sekali lagi peran guru akan semakin sentral, semakin utama, dan semakin strategis. Guru harus menjadi agen transformasi penguatan SDM kita, menjadi agen transformasi dalam membangun talenta-talenta bangsa.”
Gagasan kunci yang perlu digarisbawahi dan diterjemahkan secara progresif dari pernyataan presiden itu adalah ‘guru harus menjadi agen transformasi’. Imperasi etis-pedagogis ‘guru mesti menjadi agen transformasi’, hemat saya, bisa dimengerti dalam dua arah.
Pertama, perubahan dalam strategi, metode, gaya, pendekatan, dan konten pembelajaran.
Pola pendidikan dan pengajaran konvensional, perlu dievaluasi dan direvisi. Bagaimanapun juga untuk menghadapi perubahan zaman itu, transformasi pendidikan dan transformasi proses belajar-mengajar harus terus dilakukan. Menurut Presiden, proses belajar-mengajar harus menggembirakan, baik guru maupun murid, dan dilakukan secara efisien dan mudah.
Selain itu, keseluruhan proses pendidikan kita mesti berorientasi emansipatoris dan membebaskan. Setiap praksis pedagogi yang membelenggu daya imajinasi dan kemampuan berpikir kritis harus dikoreksi secara total.
Bahkan, di era digital seperti sekarang ini, ruang kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar. Dunia virtual adalah lingkungan sekolah atau kampus itu sendiri. Kita bisa belajar banyak hal dari sana. Google adalah perpustakaan kita, Wikipedia adalah ensiklopedi kita, bisa cari apa saja, Kindle buku elektronik adalah buku pelajaran kita dan masih banyak media digital lainnya.
Oleh sebab itu, peran guru harus lebih dari sekadar mengajar atau mentransfer ilmu semata, tetapi mesti tampil sebagai pengelola belajar siswa. Guru mesti mengarahkan belajar siswa karena mereka bisa belajar di mana-mana. Guru pun dituntut lebih fleksibel, lebih kreatif, lebih menarik, dan lebih menyenangkan siswa.
Tetap disadari bahwa jika guru bersikap permisif terhadap perilaku belajar dan kiblat pencarian pengetahuan siswa, tentu berdampak buruk bagi perkembangan kepribadian siswa itu sendiri. Kalau tidak ada yang mengarahkan, hasilnya bisa bersifat kontraproduktif dan berbahaya sekali. Semua kita tahu bahwa internet telah menyediakan semuanya, baik yang bernilai positif, maupun yang bersifat negatif. Sekarang buka apa saja di dalamnya, pasti ada semuanya.
Jadi, guru tetap mengarahkan siswa untuk berpikir kritis, memilah dan memilih hal yang relevan dengan mutu kehidupan akademiknya dalam memanfaatkan pelbagai aplikasi dalam internet itu.
Meski demikian, seperti yang disinggung pada awal tulisan ini bahwa peran guru tidak bisa digantikan oleh mesin atau teknologi secanggih apa pun. Sebagai sebuah profesi mulia, kita optimis bahwa guru memiliki peran tak tergantikan dalam membentuk karakter anak bangsa dengan budi pekerti yang luhur, dengan toleransi, dan nilai-nilai kebaikan.
Gurulah yang bisa menyentuh sisi emosi dan humanis dari para siswa. Sentuhan manusiawi semacam itu, tentu mampu menumbuhkan empati sosial, membangun imajinasi, membangun kreativitas serta mengokohkan semangat persatuan dan semangat kesatuan. Semua dimensi manusiawi ini, jelas tidak bisa dikelola atau diformat oleh perangkat mesin atau teknologi.
Kedua, transformasi kehidupan sosial-politik. Para guru, hemat saya, adalah kelompok intelektual yang hidup dan berada di tengah masyarakat. Sebagai kaum intelektual, kehadiran guru mesti membawa pengaruh terhadap sistem atau struktur sosial yang bersifat represif dan feodal. Guru mesti tampil sebagai ‘nabi’ yang menyerukan angin perubahan bagi masyarakat.
Saya kira wadah untuk meniupkan angin transformasi sosial itu sudah sangat beragam saat ini. Kita bisa menyalurkan saran dan kritik sosial melalui aneka media. Media sosial menjadi salah satu opsi favorit untuk ‘menggemakan’ suara kritis kepada para pengambil kebijakan (decicion maker) di daerah ini. Sebagai netizen yang kritis dan responsif, kita coba mengambil peran sebagai “lalat liar” yang mesti mengganggu kenyamanan kerbau (baca: pemimpin/penguasa) yang masih terlelap dalam tidur yang panjang.
Kita tahu bahwa seorang pemimpin (penguasa) yang sudah “mengunyah” sekian banyak rumput anggaran negara, pasti agak malas dan mencari kenyamanan di ruang privat. Kita mesti “terbang” mencari penguasa yang terlena dalam kemewahan itu, untuk segera membanting tulang mengurus kemaslahatan publik.
Tentu, ada sekian banyak isu yang semestinya ‘diteriakan’ secara keras dalam forum publik seperti media sosial. Saya kira, posisi sebagai ‘pengeras suara dari kaum tak bersuara’, bisa ditunaikan oleh para guru secara kritis dalam ruang ini. Kita sudah dibekali dan dilengkapi dengan ‘pisau analisis’ yang tajam terhadap aneka realitas sosial yang patologis. Hasil tilikan itu mesti disalurkan secara kritis dan kreatif melalui media.
Pada titik itulah, peran kecendekiawanan seorang guru, akan terlihat terang-benderang. Para guru selalu merasa ‘tidak nyaman’ dengan rupa-rupa problem sosial yang dalam banyak kasus merupakan buah dari ‘keteledoran dan ketidakbecusan para elit politik’ dalam mengurus dan memenuhi kebutuhan vital publik.
Panggilan sebagai seorang ‘intelektual’ tidak hanya dimanifestasikan dalam bentuk kesetiaan terhadap tugas profesional (pendidik dan pengajar) di lingkungan sekolah, tetapi mesti membias ke ruang sosial yang lebih luas dan nyata. Para guru tidak boleh terkurung dalam ‘tempurung profesionalisme semata’ tetapi mesti bergerak keluar untuk membawa terang dan garam bagi dunia sekitar.
Untuk itu, saya kira grup diskusi publik dalam pelbagai platform media sosial, selain sebagai wahana ‘latih menulis’, juga dipakai untuk menyuarakan aneka kegelisahan sosial. Dengan itu, kita mendapatkan semacam ‘manfaat ganda’ ketika berpartisipasi dalam setiap diskursus publik. Bakat literasi semakin terasah di satu sisi, dan meniupkan roh transformasi pada ujung yang lain. Kita tampil sebagai kreator perubahan di tengah masyarakat.
Hanya pikiran yang tidak bisa ‘dipenjara’. Ketika kita terlibat dalam aktivitas refleksif (permenungan) yang terekspresi lewat tulisan, maka pikiran pasti terbang secara bebas. Tak ada satu pun makhluk yang sanggup menghentikan pengembaraan imajinasi dalam berpikir. Tidak ada yang mustahil bila produk pikiran itu menjelma bagai seekor lalat liar yang selalu mengganggu kenyamanan para pemuja status quo.
Penulis adalah staf pengajar di SMK Stella Maris Labuan Bajo. *(RED)