Silvester Joni : “Keluar Dari Jebakan Narasi Besar Pariwisata”

Breaking News341 Dilihat
Silvester Joni, Pegiat Literasi. (Foto : Isth)

(Catatan Kritis-Reflektif HUT ke-19 Kabupaten Manggarai Barat)

Labuan Bajo| Secara kronologis, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), pada hari ini, Juma’t (25/2/2022) sudah berusia 19 tahun. Jika mengikuti fase psikologi perkembangan seorang anak manusia, usia 19 itu merupakan tahap ‘remaja akhir’, sebuah periode transisi menuju ‘masa dewasa’. Secara analogis, bisa dikatakan bahwa Mabar sudah berada di ambang ‘usia kematangan’.

Sebagai Kabupaten yang bakal memasuki sesi kematangan itu, mungkin baik dalam seremoni peringatan ‘Hari Lahir’ yang ke-19 kali ini, kita coba membuat semacam ‘evaluasi kritis-introspektif’ sekaligus proyeksi soal arah perjalanan historis kabupaten ini di masa yang akan datang.

“Berlimpah Susu dan Madu”
Rasanya, tidak perlu diperdebatkan bahwa Mabar merupakan Kabupaten yang ‘berlimpah susu dan madu’. Betapa tidak, wilayah Flores paling Barat ini ‘dianugerahi’ sumber daya alam yang sangat mengagumkan.

Tentu, yang paling fenomenal adalah keberadaan pelbagai obyek wisata yang tersebar di berbagai Kecamatan. Kita semua tahu bahwa pariwisata merupakan sektor primadona atau unggulan (leading sector) yang diharapkan bisa mendongkrak ‘nilai jual’ sektor-sektor lainnyadi Kabupaten ini.

Kendati demikian, secara objektif, sebetulnya Mabar tidak bergantung pada bidang pariwisata semata. Sumber daya perikanan (kelautan), pertanian (perkebunan), kehutanan, kebudayaan dan sebagainya, tidak kalah memesona dan menjanjikan dari aset kepariwisataan. Publik Mabar yang mayoritas berprofesi sebagai petani cukup beruntung, sebab ‘tanah’ kita sangat luas dan subur.

Demikian pun wilayah bahari dan pantai kita, sangat kaya dengan pelbagai spesies yang bermutu dan bernilai jual tinggi. Sebenarnya, cerita tentang kemiskinan dan atau kemelaratan tidak terjadi di sini jika mengacu pada keberadaan aneka aset potensial tersebut.

Tetapi, faktanya, kenyataan paradoksal itu sulit disangkal. Angka kemiskinan di Manggarai Barat, masih relatif tinggi. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Mabar menunjukkan bahwa angka kemiskinan kita berkisar 49.000 dalam lima tahun terakhir. Penurunanan angka kemiskinan sangat lamban yang jika dipersentasekan hanya sekitar 0,5% per tahun. Mayoritas warga miskin itu terkonsentrasi di desa-desa.

Miris. Kita ‘miskin’ di tengah melimpahnya stok kekayaan alam tersebut. Di satu sisi, kita bangga sebab ‘daerah ini’ begitu kaya. Tetapi, pada sisi yang lain, saya kira kita mesti ‘meratap’ dan berpikir serius mengapa virus kemiskinan masih menggerogoti tubuh kabupaten yang kaya raya ini.

Kekayaan alam yang potensial itu relatif gagal ‘dikonversi’ untuk meningkatkan level mutu kesejahteraan publik. Alih-alih mendatangkan berkat bagi warga lokal, justru ironisnya, ada indikasi, bahwa aneka kekayaan alam itu didominasi atau dimonopoli oleh mereka yang memiliki segalanya dalam hal pengelolaannya.

Pariwisata menjadi contoh kasus yang patut dibedah secara mendalam. Kita boleh bangga dengan semua ‘harta alamiah’ di atas, tetapi yang memeras dan mengecap ‘susu dan madu’ dari wilayah ini, adalah ‘orang luar’ yang datang dengan motif ‘mengejar untung semata’. Jebakan Pariwisata Super Premium. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *